kepemimpinan

Posted in Uncategorized on April 27, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsure yang sama. Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), “leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good”. Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), “leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance”.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak
akan ada juga.
Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
· Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin  mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
Coercive power,· yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi  · bawahan bahwa pemimpin mempunyai
hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
Referent power, yang didasarkan atas  · identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok
pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
Expert power, yang didasarkan atas  · persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda. Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat (“managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, “). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.

Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin. Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.

(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak
individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,
kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi
mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974). Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970). Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa “leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation” (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.

(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studistudi
tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin. Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations). Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.

(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987). Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok:
supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan
iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai
dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan
bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan
tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). Menurut
Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah
karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya
peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa “the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance”. Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu. Dalam buku mereka yang berjudul “Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership”, Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai “the Four I’s”. Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi,
menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas
organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan praktekpraktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru. Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.

PENDIDIKAN ANAK BANGSA TANGGUNGJAWAB PEMERINTAHAN

Posted in Uncategorized on Januari 19, 2010 by mghazakusairi

Oleh: M.Ghaza Kusairi

Pada tahun 1998 bangsa Indonesia mengalami krisis keuangan dan krisi ekonomi. Hal ini diawali dengan runtuhnya rezimdan koloni-koloni Orde Baru. Soeharto sebagai presiden pada waktu itu dipaksa turun dari jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesi para mahasiswa Indonesia. Dampak dari krisis keuangan dan krisis ekonomi sangat mempengaruhi bangsa Indonesia sehingga melanda sektor-sektor yang lain yaitu kebijakan politik, pertahanan dan lain-lain. Dunia sangat perhatin dengan kondisi Indonesia pada saat itu, para pemerintahan Indonesia kebingungan untuk mengatasi krisis tersebut. Namun hal itu sedikit demi sedikit, krisis yang melanda bangsa ini bisa diatasi.
Jika kita tinjau dari segi ekonomi, memang Indonesia bisa mengatasi krisis tersebut, perokonomian bangsa ini normal kembali. Memasuki era melenium, pada awal tahun 2000 bangsa Indonesia tidak hanya mengalami krisis keuangan, tetapi Indonesia mengalami krisis yang sangat dahsyat yaitu krisis multidemensi. Dalam hal ini yang sangat memperhatinkan adalah Indonesia mengalamim krisis moral dan dan kebodohan dimana-mana. Hal ini disebabkan karena pemerintahan saat itu hingga sakarang hanya peduli dengan kekayaan, jabatan dan harta sehingga mengabaikan negerasi anak bangsa.
Setiap kita mengalami krisis ekonomi, mengapa para pemerintahan begitu bigung, pada hal dalam sudut pandang penulis, krisis ekonomi tidak begitu membahayakan bangsa ini. Ada krisis yang lebig besar bahayanya daripada sekedar krisis ekonomi yaitu krisis akhlak (moral) dan kebododhan dimana-mana. Tidak ada dari pemerintahan yang peduli terhadap moral dan pendidikan anak bangsa. Kenapa hal ini terjadi, karena ahklak dan moral para pemimpin bangsa Indonesia saat ini adalah bejat-bejat semua tanpa peduli terhadap anak bangsa.
Hal ini dapat kita buktikan dengan masalah yang melanda bank century, dalam pengamatan penulis berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh bapak Jusuf Kalla, bahwa beliau mengatakan kegagalan yang dialami bank century karena dirampok oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Lalu kenapa Sri Mulyani selaku menteri keuangan pada saat itu, begitu ngotot untuk mengulirkan dana sebesar 6,7 T untuk membantu bank century, pada hakikatnya Sri Mulyani bukan ingin mengatasi krisis yang dialami bank century, tetapi uang 6,7 T itu hanya untuk menembah kekayaan para perompok tersebut.
Jika Sri Mulyani, punya hati pada saat itu, maka uang 6,7 T tidak akan digunakan untuk membantu para perampok bank century tersebut, tetapi digunakan untuk pendidikan anak bangsa yang mampu melanjutkan pendidikannya, atau uang sebesar 6,7 T diberikan sabagai beasiswa pada mahasiswa untuk melanjutkan S2, maka berapa banyak para intelektual muda yang akan dihasilkan bangsa ini, tetapi sangat disayangkan hal ini tidak terpikirkan oleh Sri Mulyani dan Boediono karena mereka tidak waras, mereka tidak punya hati lagi. Atau uang sebesar 6,7 T digunakan untuk mengoabati Sri Mulyani dan Boediono yang telah sakit jiwa.
Bertolak belakang dari penjelasan diatas, bahwa krisis moral dan banyak generasi bangsa yang tidak bisa menlanjutkan pendidikan lebih bahaya dampaknya terhadap kemajuan bangsa Indonesia dibandingkan dari dampak bank century yang telah dirampok. Pendidkan atau mencerdaskan anak bangsa merupakan tanggungjawab pemerintahan, krisis yang melanda bangsa Indonesia selama ini lebih disebabkan karena banyaknya para anak bangsa yang tidak bisa menikmati dan melanjuti pendidikan, sehingga dampaknya yaitu kebodohan dimana-mana dan krisis moral yang dialami bangsa ini. Apabila tingginya angka kebodohan, maka akan mendorong munculnya kejahatan-kejahatan.
Para pemerintahan kabinet Indonesia bersatu JILID II ala SBY-Boediono tidak lagi memperhatikan pendidikan anak bangsa ini, tidak lagi peduli dengan rakyat. Keterpurukan dan keterbelakangan bangsa Indonesia saat ini disebabkan oleh para pemimpinnya tidak lagi memliki perasaan, hati dan akal, mereka semua telah gila. Dihadapan manusia mereka adalah orang-orang hebat, tetpai dihadapan Tuhan mereka dalah kumpulan orang-orang gila. Apabila seseorang tidak lagi memliki rasa, hati dan peduli dengan orang lain, itulah orang gila. Apakah para pemerintahan kita dihuni oleh orang-orang gila, ini yang menjadi pertanyaan kita semua.
Jika para pemerintahan adalah orang-orang yang sehat, maka mereka pasti peduli dengan kemiskinan, kebodohan dan pendidikan rakyatnya, kenyataannya mereka tidak lagi peduli dengan hal tersebut, inilah penulis katakan bahwa “para pemerintahan kabinet Indonesia bersatu” banyak dihuni oleh orang-orang gila. Disini saya tidak bermaksud untuk menjelekkan dan menghina para pemerintahan saat ini, tetapi inilah fakta yang sbenarnya walaupun masih ada yang peduli dengan rakyat, tapi persentasenya sangat kecil dibandingakan dengan orang-orang yang tidak peduli (wong edan/orang gila).
Jika bangsa Indonesia ingin maju dalam segala bidang, maka hal yang pertama dan utama dibenahi adalah pendidikan anak bangsa. Tanpa adanya kepedulian terhadap pendidikan generasi anak bangsa, maka untuk kedepannya bangsa kita sulit untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang sangat maju dalam masalah pendidikan. Jiwa para pemimpin kita saat ini adalah jiwa kekayaan, jabatan dan harta, tidak ada yang memiliki jiwa untuk memajukan pendidikan anak bangsa. Hal ini dapat kita buktikan, misalnya ketika bangsa Indonesia dilanda musibah Tsunami Aceh dan Gempa Padang, semua para pemerintahan Indonesia yang berbicara atau dialog di televisi selalu mengklaim berapa kerugian yang dialami oleh Tsunami dan gempa. Tidak pernah saya mendegarkan secara langsung atau pun melalui tulisan yang mengatakan “berapa orang guru yang selamat”. Ini menunjukkan bahwa kepedulian kita terhadap pendidikan sangat rendah, apalagi kepedulian terhadap pendidikan orang lain atau anak bangsa.
Melalui artikel ini, penulis mengajak kepada kita semua untuk selalu memperhatikan terhadap pendidikan anak bangsa, karena pendidikan generasi bangsa adalah tanggungjawab kita semua terutama para pemerintahan. Yang peduli terhadap pendidikan rakyat Indonesia adalah orang-orang yang bemiliki perasaan, hati dan akal. Jika kita tidak peduli dengan pendidikan generasi bangsa ini, maka kita sama dengan orang gila yang tidak memiliki perasaan, hati dan peduli dengan orang lain, hal ini yang dialami pemerintahan kebinet Indonesia bersatu JILID II ala SBY-Boediono yang telah menjadi perkumpulan orang-orang gila yang tidak lagi peduli dengan rakyatnya dan pendidikan generasi anak bangsa.
Pendidikan merupakan faktor yang sentral untuk memajukan bangsa Indonesia terutama dibiadang keilmuan. Kebodohan merupakan faktor utama yang menyebabkan mandegnya keilmuan bangsa Indonesia. Jika bangsa Indonesia ingin maju dalam segala bidang, maka cerdaskan dulu anak bangsanya, berantas kebodohan yang telah menjamur di negara ini. Tetapi, faktanya berbicara lain, para pemerintahan hanya memikirkan masalah ekonomi, politik dan pertahanan dan keamanan, dan mengabaikan masalah pendidikan. Tidak ada perhatian yang khusus pemrintahan SBY-Boediono terhadap pendidikan. Mereka sibuk diskusi dan dialog membicarakan masalah ekonomi dan politik yang menghiasai media televisi, tetapi tidak ada satupun yang membicarakan tentang pendidikan generasi anak bangsa kedepannya. Hal ini menunjukan lemah perhatian pemerintahan terhadap dunia pendidikan. Indonesia tidak akan pernah maju jika pemerintahannya tidak memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan genarsa bangsa.

MAJAMEN PENDIDIKAN

Posted in Uncategorized on Januari 5, 2010 by mghazakusairi

Oleh: M. Ghaza Kusairi
االفصل الثانى
الاصول العامة اللادارة التعليمية

مقدمة
هناك عدة أصول رٍئيسية تستند اليها الادارة التعليمية وينبغى على رجل الادارة التعليمية أن يلم بها وأن يعيها ويفهمها اذا كلن عليه أن يمارس عمله بطريقة علمية . من هذه الآصول ما يتعلق بمبادىء التنظيم ومنها ما يتعلق بمبادىء الاشراف ومنها ما يتعلق بمبادىء العملية الادارية ومر احلها

PASAL KEDUA
BEBERAPA ASET UTAMA MANAJEMEN PENDIDIKAN

Pendahuluan
Ada beberapa aset utama manajemen pendidikan berdasarkan manajemen administrasi dan harus dipelajari oleh manusia dalam melaksanakan fungsi-fungsinya secara ilmiah. Aset-aset ini berkaitan dengan prinsip-prinsip organisasi, termasuk dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pengawasan, dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip proses administrasi dan bisa untuk memecahkan masalah.

أول – مبادىء التنظيم الادارى التعليمى :
قبل التعرض لمناقثسة مبادىء وأسس التنظيم الادارى التعليمى ينبغى أن نذكر بعض التحفظات الآتية :

Pertama: Prinsip-prinsip Pengelolaan Andimistrasi Pendidikan:
Sebelum memaparkan beberapa prinsip-prinsip dan dasar-dasar organisasi administrasi pendidikan harus menyebutkan beberapa syarat sebagai berikut:

– ان علم الادارة – من حيث أنه علم – هو فى مراحله الآولى .
– ان كثيرا مما كتب عن التنظيم مستعار من ميادين أخرة : مثل ادارة الصناعة والأعمال والجيش والحكومات .
– ان التنظيم وهو أحد ميادين الادارة لم يحفظ الا بالقليل من الدرسة العلمية.
– ان دراسة التنظيم على أساس نظرى ما زال فى مرحلة الطفوله .
– ان الملاحظات الاختبارية المحدودة عن التنظيم الادارى قد لا تكون كافية كأساس لصياغة المبادىء والأسس الجيدة .
– ان أى مبادىء مسلم بها فى هذه المرحلة يجب أن تتبر مبدئية وخاضعة للتحقق من صحتها .

1. Ilmu manajemen – dalam hal informasi – yang dalam tahap awal.
2. Bahwa banyak dari apa yang ia menulis tentang organisasi yang dipinjam dari bidang akhir: seperti manajemen industri dan bisnis, militer dan pemerintah.
3. Organisasi merupakan salah satu daerah administrasi tidak hanya hafal sedikit pelajaran ilmiah.
4. Studi organisasi berdasarkan pendapat saya masih dalam masa kanak-kanak.
5. Pengamatan eksperimental yang terbatas pada organisasi administratif mungkin tidak cukup dasar untuk merumuskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang baik.
6. Bahwa prinsip-prinsip yang diakui dalam tahap ini harus melalui pendahuluan dan tunduk pada verifikasi keaslian.

ويقترح دارسو الادارة المبادىء الآتية للتنظيم الادارى وهى مبادىء مستعارة من ادارة الأعمال والادارة العامة :

Mahasiswa manajemen dan mengusulkan prinsip-prinsip berikut organisasi administratif yang dipinjam dari prinsip-prinsip manajemen bisnis dan administrasi publik:

(أ) أن العمل الادارى يمكن تنظيمه على أحسن قدر من الكفاءة على أساس الوظيفة function وهذه هى فكرة أو عقيدة ( الوحدة ) التى تقوم على أساس توحيد السلطة لكل العاملين فى أنواع معينة من العمل مثل ميادين الصحة والتعليم والخدمة العامة . وكل فرع من فروع التنظيم الادارى ينبغى أن يكون له أغراض وأمداف فرعية محددة .

A. Bahwa pekerjaan administratif dapat diatur dalam ukuran terbaik efisiensi didasarkan pada fungsi pekerjaan dan ini adalah gagasan atau keyakinan yang didasarkan pada kekuatan konsolidasi semua yang terlibat dalam jenis pekerjaan tertentu seperti kesehatan, pendidikan dan pelayanan publik. Setiap cabang organisasi administrasi harus memiliki tujuan yang spesifik.

(ب) ان التوجيه الموحد يجب أن يضمن فى التنظيم . وهذه هى القاعدة القديمة التى تقوم على ( وحدة الأمن ) أى أن هناك رئيسا ولحدا هو المسئول النهائى عن العمل . ولايخضع أى مرموس لأوامر أكثر من رئيس : وهو ما يعرف بخط المسئولية

B. Bahwa arah umum harus disertakan dalam organisasi. ini adalah aturan, yang didasarkan pada (Security Unit), yaitu bahwa ada pemimpin dan akhirnya bertanggung jawab untuk tindakan terakhir. Dan tidak tunduk pada perintah di atas kepala bawahan: ini dikenal sebagai garis tanggung jawab

(ج) يمكن أن يكون التنظيم على أساس الغرض . وبناء على هذا الترتيب تفصل عادة الأشياء الخاصة مالستخدمين والأنشطة المساعدة , وغيرها كل حسب الغرض الذى تئوديه . وهذا تطبيق للمفاهيم السكرية فى العمليات الادارية.

C. Dapat diselenggarakan atas dasar tujuan. Berdasarkan pengaturan ini biasanya dipisahkan dan pendukung obyek kegiatan, dan lain-lain, masing-masing sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Aplikasi konsep ini adalah dalam proses administrasi.

(د) التنظيم على أساس التسلسل الهرمى : وهو التركيب التنظيمى الرأس الذى يبدأ من القاعدة ويتجه الى أعلى فى تسلسل حتى فصل الى قمة الهرم وهى أعلى سلطة فى التنظيم . وهذا التسلسل الوظيفى يختلف على أساس مستويات السلطة والمسئولية .

D. Peraturan berdasarkan hirarki: organisasi kepala, yang dimulai dari basis dan bergerak ke atas rantai sampai musim ke puncak piramida yang merupakan otoritas tertinggi dalam organisasi. Hirarki ini berdasarkan berbagai tingkat wewenang dan tanggung jawab

(ه) لا يمكن الفصل بين التنظيم والأغراض الاجتماعية . وهذا يعنى أن التنظيم وسيلة لا غاية . فالتنظيم يخلق امكانية الاستخدام النفعى التى يمكن تكريسها لخدمة المجتمع .

E. Tidak dapat dipisahkan antara peraturan dan tujuan-tujuan sosial. Ini berarti bahwa organisasi sebagai sarana bukan akhir. Penyesuaian kemungkinan menciptakan utilitarian digunakan, yang dapat disediakan untuk pelayanan masyarakat

(و) ليست هناك صورة واحدة صحيحة التنظيم . فهناك العديد من العوامل التى تحدد أحسن نوع من التنظيم المناسب لموقف معين . من هذه العوامل الحجم والموقع وتقسيم العمل والموظفون والأموال المتاحة . الى جانب هذا ينبغى الاشارة الى أن أحسن تنظيم ادارة فى فترة ما, قد لا يكون كذلك اذا ما تغيرت الظروف الاجتماعية فيما بعد .

F. Tidak ada satu gambar yang benar organisasi. Ada banyak faktor yang menentukan jenis organisasi terbaik yang sesuai untuk posisi tertentu. Tersebut faktor, ukuran, lokasi dan pembagian tenaga kerja, personil dan dana yang tersedia. Seiring dengan hal ini harus disebutkan bahwa manajemen yang terbaik dalam organisasi, mungkin tidak akan terjadi jika kondisi sosial berubah nanti

(ز) ينبغى الاهتمام بمدى الاشراف Span of Control فى التركيب التنظيم . والمقصود بمدى الاشراف عدد المرءوسين ومدى الصلات المباشرة بين الرئيس ومرءوسيه بما يسمح بأداء العمل بصورة فعالة دون تأخير . وهذا يعنى ببساطة أن هناك حدودا على عدد المرءوسين المطلوب الاشراف عليهم جيدا من جانب فرد واحد . وهو ما أشرنا اليه فى كلاما عن العوامل المحددة للاشراف الادارى .

G. Tingkat pengawasan harus ditujukan Span of Control dalam Manajemen Instalasi. Apa yang dimaksud dengan tingkat pengawasan bawahan dan sejauh mana kerjasama langsung antara pimpinan dan para bawahannya, termasuk diperbolehkan melakukan bekerja secara efektif tanpa penundaan. Ini berarti bahwa ada batasan pada bawahan yang akan mengawasi mereka dengan baik oleh satu individu. Untuk yang kita dimaksud dalam berbicara tentang faktor-faktor penentu administratif pengawasan

وفى ميدان الادارة التعليمية يقدم لنا جريفث وكلارك وغيرهما مبادىء مقترحة للتنظيم الادارى نجملها فيما يلى :

Di bidang administrasi pendidikan memberikan kita dengan Griffith dan Clark dan prinsip-prinsip lain yang diusulkan organisasi administratif dijelaskan sebagai berikut:

١- أن يقوم التنظيم الادارى على أساس فعالية عملية اتخاذ القرار . وأن يسمح التنظيم بأن يتخذ القرار عند مستوياته الأمثل .

1. Organisasi ini berdasarkan efektivitas administrasi pembuatan keputusan proses. Dan mengizinkan organisasi untuk mengambil keputusan di tingkat optimasi.

٢- أن يسمح التنظيم الادارى بخرية العمل والمبادرة الذاتية . وأن تتخذ العناية والحتياط فى تنظيم المستويات الهرمية للسلطة بحيث يكون وجودها ضروريا لتحقيق نوع من الرقابة المعقوله .

2. Untuk memungkinkan organisasi administratif Boukrip kerja dan inisiatif individu. Dan untuk mengurus dan mengatur dalam organisasi tingkat hirarki otoritas sehingga keberadaannya diperlukan untuk mencapai semacam kontrol yang wajar.

٣- يجب تنظيم الوظائف الاداية وروافد عمل القرار بحيث نمكن دولاب العمل من الاداء بصورة ديمقراطمة لا مركرية .

3. Harus menjadi fungsi-fungsi administratif dan perencanaan memiliki anak cabang tindakan sehingga memungkinkan roda kinerja tidak sesuai dengan majnajemen pendidikan

٤- أن هدف التنظيم هو توضيح وتويع المسئولية والسلطة نين الأفراد والمجموعات بصورة منتظمة تتمش مع هدف المنظمة . ويتحدد التركيب الادارى للمنظمة بطبيعة عملية اتخاذ القرار . ويجب أن يحترم التنظيم هذه الناحية .

4. Organisasi tujuannya adalah untuk memperjelas tanggung jawab dan wewenang individu dan kelompok secara teratur terus berpacu dengan tujuan organisasi. Struktur administrasi ditentukan oleh sifat pengambilan keputusan proses. Harus dihormati dan organisasi yang berkaitan

٥- يجب أن يقوم التنظيم على أساس توحيد مصدر القيادة فى عمل القرار , فالسلطات والمسئوليات التى يخوضها المدير يجب أن يترتب عليها اطار موحد كمستويات اتخاد القرار بين وموسيه .
5. Organisasi harus didasarkan atas dasar penyatuan sumber kepemimpinan dalam karya resolusinya, wewenang dan tanggung jawab yang dihadapi oleh pemimpin harus memiliki efek kerangka kerja standar seperti tingkat pengambilan keputusan antara antara bawahan

٦- يجب أن يسمح التنظيم الادارى بحكم طبيعته بالتقويم المستمر المتعاون .

6. Harus diperbolehkan organisasi administratif sifatnya terus bekerja sama.

انماط التنظيمات الاداية وتصنيفاتها :
تتعدد التنظيمات الادارية وتختلف اختلافا متباينا . وهناك عدة محاولات لتقسيم وتصنيف التنظيمات الادارية المختلفة فبعض التقسيمات تعمد الى تصنيفها على أساس تأكيدها للفرق بين كون التنظيمات خاصه أو عامة , وبعضها يقسمها حسب الحجم , وبعضها يقسمها على حسب الغرض الذى تخدمه . وبعضها يهتم فى التصنيف بالتركيز على أعضاء المنظمة , فمنها ما يقوم أضلا على أساس أعضاء متطوعين مثل الجمعيات الخيرية , ومنها ما يقوم على أساس أعضاء موظفين مثل المنشئات الصناعية والتجارية.. أو ما يقوم على أساس التجنيد كادارة الجيش . وبعض المنظمات تقسم على أساس الميدان الواسع الذى تنتمى اليه والموظائف التى تئوديها فى المجتمع الكبير , ومنها المنظمات الاقتصادية والسياسية والصحية والتعليمية وغيرها .. وكل هذه التقسيمات فى الواقع تئوكد الفروق الواضحه الظاهرة بين المنظمات الادارية الرسمية . ولكن هناك تقسيمات تقوم على جوانب تحليلية أعمق من هذا فبارسونز مثلا يميز بين أنواع وأنماط على أساسها تقوم المنظمة بحل احدى المشكلات الآربع الآساسية التى تواجهها وهو ما سنعرض له .

Pola Organisasi Administratif dan Klasifikasi:
Beberapa organisasi administratif dan campuran yang berbeda. Ada beberapa usaha untuk membagi dan mengelompokkan organisasi-organisasi administratif yang berbeda. Beberapa divisi, berarti harus diklasifikasikan berdasarkan konfirmasi perbedaan antara organisasi publik atau swasta, dan ada yang dibagi berdasarkan ukuran, dan beberapa yang dibagi sesuai dengan tujuan yang diperlukan. Dan beberapa tertarik dalam kategori yang fokus pada anggota organisasi, beberapa yang didasarkan atas dasar relawan seperti amal, termasuk yang didasarkan pada anggota staf, seperti industri dan fasilitas komersial, atau berdasarkan rekrutmen departemen dalam kemeliteran. Dan beberapa organisasi dibagi berdasarkan bidang yang luas di dalam masyarakat banyak, termasuk ekonomi, organisasi, politik, kesehatan, pendidikan dan lainnya, semua devisi, dalam kenyataannya, sangat jelas perbedaan antara organisasi-organisasi administratif yang resmi. Tapi ada devisi didasarkan pada aspek-aspek analisis yang lebih dalam ini untuk perubahan misalnya, membedakan antara jenis dan pola-pola atas dasar organisasi untuk menyelesaikan salah satu dari empat masalah dasar itu.

وهنك أساس تحليلى اخر يقوم على أساس نوع المادة أو الخامة التى يعمل عليها الجهاز الفنى المنظمة من حيث كون هذه الخامة أشياء مادية أو بشرا بمعنى هل هى منظمة انتاج أم خدمات . والغرض الأساس المترتب على ذلك هو أن النوع الأخير فقط فى منظمات الخدمات يواجه بمشكلات انشاء علاقات اجتماعيه نشطة فى شتى الاتجاهات . فنجاح اطدرس على سبيل المثال يعتمد على ذلك وليس الأمر ذلك بالنسبة لعمل المهندس .

Hal ini didasarkan atas analitis dan lainnya berdasarkan jenis bahan atau bahan baku yang karya-karya organisasi teknis dalam realitas bahwa hal ini bahan baku atau manusia dalam arti yang anda produksi atau jasa. Tujuan dari efek dasar ini adalah bahwa yang terakhir hanya dalam organisasi pelayanan menghadapi masalah pembentukan hubungan-hubungan sosial aktif dalam berbagai arah. Keberhasilan anda, untuk contoh, tergantung pada hal itu bukan untuk karya arsitek

وجيب الاشار الى ان مفهوم ( مؤسساب الخدمات ) هو مصطلح عام غير دقيق : فليس من الخرورى أى تقوم كل المنظمات التى تتفاعل مع الناس بخدمة هؤلاء الناس فمن الصعب أن يقال أن وظيفة السجن مثلا هى تقديم خدمة للسجناء .

Diingat bahwa konsep adalah istilah umum yang tidak akurat: tidak ada kebaikan anda semua organisasi yang berinteraksi dengan orang-orang untuk melayani mereka, sulit untuk mengatakan bahwa fungsi penjara adalah untuk menyediakan layanan seperti itu untuk tahanan.

PENIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

Posted in Uncategorized on Januari 5, 2010 by mghazakusairi

Oleh: M. Ghaza Kusairi

A. PENDAHULUAN
Berbicara tentang pendidikan, fokusnya selalu berkenaan dengan persoalan anak, sosok manusia yang dicintai, disayangi, dan generasi yang masa depannya harus dipersiapkan. Tugas mendidik anak ini ternyata tidak mudah dilakukan, lebih-lebih pada zaman sakarang ini. Kesulitan-kesulitan menjalankan tugas mendidik itu amat terasa, terutama ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa pengaruh lingkungan sudah demikian kuat, bahkan melampaui kekuatan pengaruh faktor-faktor pendidikan lainnnya. Kenakalan remaja sudah menjadi modus berita dan topik wacana di masyarakat, termasuk di media baik elektronika maupun cetak. Wacana yang disunguhkan oleh berbagai pemberitaan yang terutama adalah adalah kenakalan remaja, perkelahian, hubungan seks bebas, mabuk, penggunaan obat terlarang, dan bahkan tindakan kekerasan yang tidak selayaknya dilakukan.

Menghadapi persoalan-persoalan seperti ini, sudah pasti para orang tua menjadi risau. Cita-cita berupa agar kelak menjadi orang tua yang berhasil, yaitu memiliki anak yang sukses, shalih dan shalihah, patuh kepada kedua orang tua, berbakti kepada nusa dan bangsa, dan agama menjadi harapan yang terlalu sulit untuk diwujudkan. Kesulitan menunaikan tugas pendidikan, terutama pada masa sekarang ini, bukan semata-mata oleh karena keterbatasan lembaga pendidikan yang tersedia, melainkan disebabkan amat sedikitnya lembaga pendidikan yang mampu melakukan peran-peran pendidikan secara utuh terhadap para siswanya.

Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.

Secara sepintas pembahasan tentang dasar pelaksanaan pendidikan agama di lingkungan keluarga ini yaitu atas dasar cinta kasih seseorang terhadap darah dagingnya (anak), atas dasar dorongan sosial dan atas dasar dorongan moral. Akan tetapi dorongan yang lebih mendasar lagi tentang pendidikan agama di lingkungan keluarga ini bagi umat Islam khususnya adalah karena dorongan syara yang mewajibkan bagi orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, lebih-lebih pendidikan agama.

Pendidikan dapat diarikan sebagai proses bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani manusia menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Oleh karena itu, pendidikan dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok dalam membentuk generasi muda agar memiliki kepribadian yang utama. (Zuhairini dan Abdul Ghofir, 2004: 1)

Pendidikan dalam keluarga memiliki peranan yang sangat penting terhadap perkambangan fitrah anak, terutama pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tua terhadap anak. Keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama, dalam hal ini orang tua memiliki peran yang besar terhadap pendidikan anaknya kedepan. Apabila kegagalan dalam manajemen pendidikan dalam keluarga, maka akan bertampak pada pendidikan anak berikutnya yaitu tatkala anak-anak menempuh pendidikan diluar lingkungan keluarga.

Problem pendidikan yang muncul saat ini bukan disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan tenaga ahli, dana, maupun jumlah lembaga pendidikan. Semua itu justru saat ini sudah jauh meningkat bila dibandigkan dengan benerapa tahun yang lalu. Fasilitas dan daya dukung pendidikan sebenarnya sudah semakin tercukupi. Demikian pula kenakalan remaja bukan saja dialami oleh anak-anak dari kalangan keluarga miskin, melainkan justru anak-anak dari keluarga orang berpendidikan yang juga memiliki kekuatan ekonomi yang cukup. Jika demikian halnya, kita dapat mempertanyakan, apakah sesungguhnya yang salah dari proses pendidikan yang dilaksanakan selama ini. (Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, 2004: 4)

Pada dasarnya, tugas utama pendidikan, khususnya pendidikan Islam adalah mengubah potensi-potensi manusia menjadi kemampuan-kemampuan atau keterampilan-keterampilan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Pendidikan Islam sesungguhnya merupakan solusi bagi penyakit yang menimpa manusia modern. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dibangun atas dasar fitrah manusia. Pendidikan Islam senantiasa bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Oleh karenanya, pendidikan Islam selalu berusaha menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya. (Toto Suharto, 2006: 91-92)

Pendidikan diibartkan sebagai sebuah rumah yang dapat menaungi penghuninya dari sengatan matahari dan hujan. Tetapi rumah tidak dapat dibangun dalam awang-awang, melainkan harus ditata sedemikian rupa sehingga menjadi indah dan asri. Oleh karena itulah mereka yang membangun dan mendirikan rumah tentunya bertanggung jawab atas terbentuknya rumah yang indah dan asri agar dapat menjadi tempat berteduh yang nyaman untuk dirinya, pasangan hidunya dan akan-anaknya. Begitu pula dalam mendidik anak, apabila anak diarahkan sesuai dengan kapasitas, potensi dan perkembangan serta tahapan-tahapan yang akan dilaluinya, maka anak akan menjadi penyejuk sanubari dan menyenagkan bila dipandang mata. Dalam hal ini orang tua, memiliki kewajiban yang besar dalam pendidikan anaknya dalam keluarga. Namun pada zaman modern ini, bnayak orang tua tidak lagi memperhatikan pendidikan anaknya karena sebuk dengan karir, sehingga pendidikan anaknya terabaikan.

Al-Qur’an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Pendidikan
Al-Qur’an sebagai petunjuk, pebeda, penjelas, dan juga syifa’ ma fis shudur (obat dari penyakit yang ada dalam dada) pasti berbicara tentang pendidikan. Pendidikan menyangkut kebutuhan hakiki seseorang. Ajaran yang bersifat universal ini tidak mungkin secara operasional dan mendetail memperbincangkan pendidikan yang amat mendasar ini. (Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, 2004: 7)
Dalam al-Qur’an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur’an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain; Menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan sosial masyarakat.
Dalam al-Qur’an kata pendidikan dikenal dengan istilah tarbiyah. Kata ini berasal dari kata rabba-yurabbi yang berarti memelihara, mengatur, mendidik, seperti yang terdapat dalam surat al-Isra’ yang artinya:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. (Q.S. al-Isra’: 24)

Kata tarbiyah berbeda dengan ta’lim yang secara harfiyah juga memiliki kesamaan makna yaitu mengajar. Akan tetapi, kata ta’lim lebih kepada arti transfer of knowladge (pemindahan ilmu dari satu pihak kepada pihak lain). Sedangkan tarbiyah tidak hanya memindahkan ilmu dari satu pihak kepada pihak lain, namun juga penanaman nilai-nilai luhur atau akhlakul karimah, serta pembentukan karakter. Oleh karena itulah, Allah swt menyebut dirinya dengan sebutan rabb yang berarti pemelihara dan pendidik.

Dalam pandangan penulis, bahwa ayat ini memerintahkan kepada kedua orang tua agar mendidikan anaknya dengan baik. Pendidikan dalam ayat tersebut diatas adalah pendidikan dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua terhadap putra-putrinya agar kelak putra-putrinya menjadi anak yang shalih dan shalihah yang selalu mendoakan kedua orang tuannya tatkala mereka berdua telah tiada. Kita semua memahami bahwa setiap anak adam yang meninggal maka putuslah semua amalnya kecuali tiga hal, salah satu dari tiga hal tersebut adalah doa anak yang shalih yang selalu mendoakannya. Hal inilah fungsi dari pendidikan anak dalam lingkungan keluarga yang kita harapkan semua.

Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur’an dengan istilah tarbiyah, ta’lim dan tadhib tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata rabbi, kata tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba, yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata tarbiyah, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua istilah tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda. Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kat-kata diatas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata tarbiyah kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar, serta rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara. Konferensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 ternyata tidak berhasil menyusun definisi pendidikan yang dapat disepakati, hal ini dikarenakan: pertama, banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, kedua, luasnya aspek yang dikaji oleh pendidikan. (Ahmad Tafsir, 1992: 23)

Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapakan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Maka dari itu, menurut hemat penulis, pendidikan meiliki peranan yang penting untuk mengembangan fitrah atau potensi dasar yang dimiliki anak, karena setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.

Tujuan pendidikan adalah untuk mengembangan fitrah atau potensi dasar yang dimiliki anak sejak ia dilahirkan. Agar potensi-potensi itu berkembangan sesuai dengan fitrahnya, maka pendidik terutama kedua orang tua memilki peranan yang besar untuk mengarahkannya kepada perkembangan yang lebih baik. Dari penjelasaan di atas, maka pengertian pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintahan melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk memersiapkan perserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang.

Nuquib al-Attas menjelaskan, pendidikan Islam adalah merupakan proses pengenalan yang ditanamkan secara bertahap dan berkesinambungan dalam diri manusia mengenai objek-objek yang benar sehingga hal itu akan membimbing manusia ke arah pengenalan dan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dalam kehidupan. Kemudian dengan pengetahuan itu manusia diarahkan untuk mengembangkan kehidupannya yang lebih baik ( Nuquib al-Attas, 1984: 52)

Menurut zuhairini dan Abdul Ghofir, pendidikan Agama Islam berarti usaha untuk membimbing ke arah pembentukan kepribadian peserta didik secara sistematis dan pragmatsi supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam sehingga terjalin kebahagian di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Zakiyah Darajad, pendidikan adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pegangan hidup.

Pendidikan Islam dalam bahasa Arab disebut tarbiyah Islamiyah merupakan hak dan kewajiban dalam setiap insan yang ingin menyelamatkan dirinya di dunia dan akhirat. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai akhir hayat.” Maka menuntut ilmu untuk mendidik diri memahami Islam tidak ada istilah berhenti, semaki banyak ilmu yang kita peroleh maka kita bertanggung jawab untuk meneruskan kepada orang lain untuk mendapatkan kenikmatan berilmu, disinilah letak kesinambungan.

Dari beberapa pengertian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam pada peserta didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya untuk mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Sehingga dapat dijabarkan pada enam pokok pikiran hakekat pendidikan Islam yaitu:
a. Proses tranformasi dan internalisasi, yaitu upaya pendidikan Islam harus dilakukan secara berangsur-angsur, berjenjang dan istiqomah, penanaman nilai/ilmu, pengarahan, pengajaran dan pembimbingan kepada anak didik dilakukan secara terencana, sistematis dan terstuktur dengan menggunakan pola, pendekatan dan metode/sistem tertentu.
b. Kecintaan kepada Ilmu pengetahuan, yaitu upaya yang diarahkan pada pemberian dan pengahayatan, pengamalan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang bercirikhas Islam, dengan disandarkan kepada peran dia sebagai khalifah di muka bumi dengan pola hubungan dengan Allah (hablum min Allah), sesama manusia (hablum minannas) dan hubungan dengan alam sekitas (hablum min al-alam).
c. Nilai-nilai Islam, maksudnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam praktek pendidikan harus mengandung nilai Insaniah dan Ilahiyah.
d. Pada diri peserta didik, maksudnya pendidikan ini diberikian kepada peserta didik yang mempunyai potensi-potensi rohani. Potensi ini memmungkinkan manusia untuk dididik dan selanjutnya juga bisa mendidik.
e. Melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, tugas pokok pendidikan Islam adalah menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi manusia, sehingga tercipta dan terbentuklah kualitas generasi Islam yang cerdas, kreatif dan produktif.
f. Menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan hidup, dengan kata lain ‘insan kamil’ yaitu manusia yang mampu mengoptimalkan potensinya dan mampu menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani, dunia dan akherat. Proses pendidikan yang telah dijalani menjadikan peserta didik bahagia dan sejahtera, berpredikat khalifah di muka bumi.

Dalam pandangan penulis, prinsip-prinsip diatas adalah pikiran idealitas pendidikan Islam terutama di Indonesia, tetapi dalam mewujudkan cita-cita tersebut banyak sekali permasalah yang telah menghambat pencapaian cita-cita tersebut malah terkadang membelokkan tujuan utama dari pendidikan Islam. Problem pendidikan Islam harus menjadi tanggung jawab bersama baik dari pendidik, pemerintah, orang tua didik dan anak didik itu sendiri, jadi kesadaran dari semua pihak sangatlah diharapkan.

2. Dasar-dasar Pendidikan Keluarga
Pendidikan dalam keluarga berusaha untuk membina atau mengembalikan manuasia kepada fitrahnya yaitu kepada Rububiyyah Allah sehingga mewujudkan manusia yang berakhlak yang baik dan bertakwa kepada Allah SWT. Bahwa tujuan pendidikan bukan menjadikan manusia sebagai hamba ilmu, budak teori atau penkultusan kepada seorang tokoh ilmuwan. Tetapi tujuan utama dari pendidikan adalah menjadikan manusia sebagai insan rabbani (manusia yang berketuhanan). Pendidikan tidak hanya menjadikan manusia pintar dan menguasai ilmu pengetahuan, namun menjadikan manusia sebagai manusia yang kenal dan takut dengan Tuhannya dengan ilmu yang dimiliki tersebut.

Dalam mewujudkan tujuan dari pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka pendidikan dalam keluarga yang dilakukan orang tua harus bertanggung jawab untuk mancapai hal tersebut. Dasar-dasar dalam pendidikan keluarga yang menjadi pedoman kita semua sebagai orang tua adalah dasar religius. Dengan berpedoman dengan dasar inilah tujuan pendidikan yang diinginkan dalam keluarga akan tercapai. Maksud adari dasar religius disini adalah dasar yang bersumber dari ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, menuntut ilmu dan mendidik anak merupakan perintah dari Allah SWT. Islam juga mengajarkan kita bagaimana cara mendidik anak dengan baik, hal ini sebagamana Allah jelaskan dalam firman Allah yang artinya:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. an-Nahl: 125)

Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga itu penting sekali, sebab pendidikan di lingkungan keluarga itu adalah pendidikan pertama dan yang utama, bisa memberi warna dan corak kepribadian anak seandainya orang tua tidak menyempatkan diri untuk mendidik anak-anaknya di keluarga sehingga terabai begitu saja karena kesibukan orang tua. Maka hal ini akan membawa pengaruh yang tidak baik terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Maka mengacu pada surat an-Nahl ayat 125 diatas, adalah bahwa dalam memberikan pendidikan dengan dengan cara baik yang mengandung unsur kasih-sayang. Orang tua tidak boleh membantah atau memarahi anak-anaknya, karena kita dianjurkan untuk membantah dan menegur mereka dengan cara yang baik pula. Jika dalam pendidikan keluarga masih ada sistem kekerasan, maka kita belum pantas menjadi orang tua.

3. Pendidikan dalam Keluarga
Anak dalam pertumbuhannya memerlukan contoh. Dalam Islam percontohan yang diperlukan itu disebut uswah hasanah, atau keteladanan. Keteladanan ini pertama kali diperoleh dari lingkungan keluarga. Biasanya seseorang anak akan mencontoh perbuatan orang yang terdekat, orang yang dicintai, orang yang dikagumi, atau orang yang memiliki kewibawaan. Kewibawaan pada diri seseorang itu muncul karena kelebihan yang disandang oleh yang bersangkutan. Selain keluarga terutama orang tua, uswah hasanah juga dapat diperoleh lewat bacaan, guru, dan tokoh masyarakat yang dikenali. (Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, 2004: 6)

Selain merupakan kewajiban, kegiatan didik mendidik adalah suatu usaha agar dapat memiliki alasan untuk berlepas diri bila kelak diminta pertanggung jawaban di sisi Allah SWT yakni telah dilakukan usaha optimal untuk memperbaiki diri dan keluarga pada kebenaran sesuai manhaj yang diajarkan Rasulullah SAW. Untuk menghasilkan pendidikan dalam keluarga yang berkesinambungan maka dibutuhkan beberapa sarana, baik yang mendidik maupun yang dididik, yaitu:
1. Istiqomah
Setiap kita harus istiqomah terus belajar dan menggali ilmu Allah, tak ada kata tua dalam belajar

2. Disiplin dalam tanggung jawab
Dalam belajar tentu kita membutuhkan waktu untuk kegiatan tersebut. sekiranya salah satu dari kita tidak hadir, maka akan mengganggu proses belajar. Apabila kita sering bolos sekolah, apakah kita akan mendapatkan ilmu yang maksimal. Kita akan tertinggal dengan teman-teman kita, demikian pula dengan guru, apabila ia sering membolos tentu anak didiknya tidak akan maju karena pelajaran tidak bertambah.
3. Menyuruh memainkan peran dalam pendidikan
Setiap kita dituntut untuk memerankan diri sebagai seorang guru pada saat-saat tertentu, memerankan fungsi mengayomi, saat yang lainnya berperan sebagai teman. Demikiannya semua peran digunakan untuk memaksimalkan kegiatan pendidikan.

Pentingnya pendidikan orang tua terhadap anak di lingkungan keluarga itu karena didorong oleh beberapa kewajiban, kewajiban moral, kewajiban sosial dan oleh dorongan cinta kasih dari seseorang terhadap keturunannya. Dalam hubungannya dengan kelanjutan pendidikan atau kehidupan anak di masa mendatang, maka pendidikan di lingkungan keluarga, termasuk di dalamnya pendidikan agama, hal itu merupakan sebagai tindakan pemberian bekal-bekal kemampuan dari orang tua terhadap anak-anaknya, dalam menghadapi masa-masa yang akan dilaluinya.

Secara sepintas pembahasan tentang dasar pelaksanaan pendidikan agama di lingkungan keluarga ini telah disebutkan di atas, yaitu atas dasar cinta kasih seseorang terhadap darah dagingnya (anak), atas dasar dorongan sosial dan atas dasar dorongan moral. Akan tetapi dorongan yang lebih mendasar lagi tentang pendidikan agama di lingkungan keluarga ini bagi umat Islam khususnya adalah karena dorongan syara (ajaran Islam), yang mewajibkan bagi orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, lebih-lebih pendidikan agama. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at-Thariim: 06)

Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama yang dikenal anak, hal ini disebabkan karena kedua orang tuanyalah orang yang pertama di kenal anak dan diterimanya pendidikan, bimbingan, perhatian dan kasih sayang yang terjalin antar kedua orang tua dengan anak-anaknya merupakan basis ampuh bagi pertumbuhan dan perkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan religius pada diri anak didik. Dalam keluarga anak mulai mnegenal hidupnya, hal ini harus disadari dan dimengerti oleh tiap orang tua. Bahwa anak dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang tumbuh dan berkembang sampai anak melepaskan diri dari ikatan keluarga.

Pendidikan keluarga memberikan pengalaman pertama yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak. Suasana pendidikan keluarga ini sangat penting diperhatikan sebab dari sinilah keseimbangan jiwa dalam perkembangan individu anak. Kehadiran anak di dunia ini disebabkan hubungan kedua orang tua, maka mereka harus bertanggung jawab terhadap anaknya. Kewajiban orang tua tidak hanya sekedar memilihara eksistensinya untuk menjadikan anak yang tumbuh dan berkemabang. Seorang anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya dan dalam keadaan ketergantungan dengan orang tua tidak mampu berbuat apa-apa bahkan tidak mampu menolong dirinya sendiri. Anak dilahirkan dalam keadaan suci yang telah membawah fitrah yang harus ditumbuhkembangkan oleh kuduo orang tua.

Menurut Ibnu Katsi, dalam tafsirnya, mejelaskan Q.S. al-Thariim ayat 06 tersebut, yakni hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka. (Ibnu Katsir, 2005: 229)

Dalam pandangan penulis, berdasarkan analisis dari tafsir Ibnu Katsir tersebut, dapat dikatakan bahwa maksud firman Allah tersebut adalah bahwa setiap muslim atau kedua orang tua berkewajiban menjaga keluarganya dari siksa neraka serta mengajari keluarganya termasuk anak-anaknya. Pendidikan yang ditanamkan pada diri anak pada ayat inilah adalah pemahaman tentang keyakinan kepada adanya kehidupan akhirat setelah kehidupan dunia ini.

Setiap perbuatan pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapakn untuk menuju ke suatu tujuan, dan tujuan-tujuan ini diperintah oleh tujuan-tujuan akhir yang umum di mana essensinya ditentukan oleh masyarakat serta dirumuskan secara singkat dan padat, seperti kematangan dan integritas atau kesempurnaan integritas atau kesempurnaan pribadi.(Muhammad Noor Sjam, 1973:76) Adapun tujuan dan maksud dari al-Qur’an surat at-Thariim ayat 06 tersebut adalah untuk mencapai tujuan pendidikan dalam keluarga yaitu selamat dari siksa api neraka. Inilah yang menjadi konsep dan tujuan utama dari pendidikan anak dalam lingkungan keluarga.

Dengan demikian, tujuan pendidikan selalu berkaitan dengan zamannya. Dengan kata lain bahwa dalam merumuskan tujuan pendidikan dapat dibaca dari unsur filsafat dan kebudayaan yang mempengaruhinya. Suatu tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam diri pribadi manusia. Pendidikan merupakan salah satu bentuk interaksi manusia. Ia adalah suatu tindakan sosial yang dimungkinkan berlakunya melalui suatu jaringan hubungan-hubungan kemanusiaan. Jaraingan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan-peranan individu di dalamnyalah yang menentukan watak pendidikan suatau masyarakat. (Hasan Langgulung, 1992: 17)

Para ahli pendidikan telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukalah otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidika akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.(M. Athiyah Abrasyi, 1987: 1) Inilah yang menjadi tujuan pendidikan anak dalam keluarga adalah untuk membentuk kepribadian anak yang berakhlak mulia dalam beriteraksi dalam msyarakat. Ppendidikan di sekolah tidak lagi mampu untuk mengatasi krisi akhlak yang terjadi dikalangan anak bangsa ini, maka salah satu faktor yang sangat membantu untuj terwujudnya anak yang berakhlakul karimah adalah pendidikan dalam keluarga yang dilakukan kedua orang. Kenakalan remaja, tawur antar pelajar yang sering terjadi pada saat ini disebabkan karena gagalnya orang tua dalam menjalankan pendidikan dalam lingkungan keluarga. Tetapi aneh yang terjadi, kebanyakan orang tua protes kepada sekolah karena kelakuan anaknya yang sangat mamalukan, hal semacam ini tidak bisa dibenarkan sebab pendidikan akhlak dan nilai-nilai adalah merupakan tanggung jawab orang tua.

Sebenarnya tuntunan yang jelas dari al-Qur’an tentang kegiatan pendidikan Islam dalam keluarga telah digambarkan Allah dengan memberikan contoh keberhasilan pendidikan dalam keluarga dengan mengabadikan nama Luqman, sebagaimana firman Allah, artinya:
Dan (ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S. al-Luqman: 13)

Dari penjelasan ayat ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa pendidikan yang pertama dan utama diberikan kepada anak adalah penanaman keyakinan yakni iman kepada Allah bagi anak-anak dalam rangka membentuk sikap, tingkah laku dan kepribadian anak. Menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam tafsirnya: ingatlah, hai rasul yang mulia, kepada nasehat luqman terhadap anaknya, karena ia adalah orang yang palingbelas kasihan kepada anaknya supaya menyembah Allah semata, dan meralarang berbuat syirik (menyekutukan Allah dengan lain-Nya). (Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, 1992: 153) Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik itu merupakan kezalim yang besar. Syirik dinamakan perbuatan yang zalim, karena perbuatan syirik berarti meletekkan sesuatu bukan pada tempatnya. Berdasarkan penjelasan dari tafsir al-Maraghi tersebut, dapat penuliskan simpulkan bahwa pendidikan yang utama dalam pendidikan keluarga adalah pendidikan tauhid dan akhlak, jika hal ini telah ditanamkan pada idiri anak sejak dini maka dia tidak akan terpengaruhi oleh lingkunagan apapun. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berjasmani kuat, sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan berpendirian teguh. Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Dalam al-Qur’an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur’an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain: menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan sosial masyarakat

Mengkaji sebagian isi al-Qur’an tersebut maka menjadi jelas, bagamana kitab suci yang diturunkan lewat Muhammad Saw melalui perantaraan malaikat Jibril memberikan petunjuk tentang bagaimana pendidikan itu seharusnya dilakukan. Prinsip-prinsip tersebut rasanya masih banyak yang belum ditangkap dan semestinya dijadikan pedoman operasional dalam pengembangan pendidikan, baik pendidikan yang dilakukan di institusi keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Hal-hal di atas jika diperhatiakn secara bijak tampak jelas betapa al-Qur’an sangat manusiawi dalam membimbing kehidupan manusia.

Pendidikan Islam berpadu dalam pendidikan ruhiyah, fikriyah (pemahaman/pemikiran) dan amaliyah (aktivitas). Nilai Islam ditanamkan dalam individu membutuhkan tahapan-tahapan selanjutnya dikembangkan kepada pemberdayaan di segala sektor kehidupan manusia. Potensi yang dikembangkan kemudian diarahkan kepada pengaktualan potensi dengan memasuki berbagai bidang kehidupan. Jika dalam proses pendidikan pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan fitrahnya, maka anak ini akan memliki kepribadian yang utama yaitu berakhlak yang tinggi dan mendekatkan diri kepada Allah. Jika dua hal ini tidak tercapai dalam pendidikan, maka ini menunjukan kegagalan dalam mengembangkan fitrah tersebut.

Dalam pendidikan anak dalam keluarga, orang tua harus benar-benar memperhtaikan perkembangan dan pertumbuhan fitrah atau potensi dasar anaknya agar anak tersebut tidak menyimpang dari fitrah dasarnya. Orang tu memliki tanggungjawab yang besar terhadap perkembangan dan masa depan anaknya, bagaimana firman Allah, artinya:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at-Thariim: 06)

Ayat ini sangat jelas memerintahkan kepada kita umat Islam untuk menjaga keluarga kita dari siksa apai neraga. Jika ayat ini kita kaitkan dengan pendidikan, maka ayat ini sangat memiliki hubungan yang sangat erat dengan pendidikan dalam keluarga, yaitu dalam proses pendidikan anak, maka yang menjadi dasar yang pertama dan utama adalah pendidikan tentang keimanan dan akhlak. Kenakalan remaja pada saat ini karena disebabkan oleh gagalnya orang tua dalam membangun pondasi dasar pertama dan utama dalam pendidikan anaknya dalam keluarga.

Namun faktanya berbicara lain, bnayak orang tua yang protes terhadap sekolah tempat anaknya belajar, karena sekolah dianggap gagal dalam memberikan pendidikan akhlak atau moral kepada anaknya sehingga anaknya terjerumus kepada obat-obatan terlarang, pergaulan seks bebas, tawur antar pelajar dan mabuk-mabukan. Tindak semacam ini tidak bisa dinarkan, sebab jika bercermin pada firman Allah dalam surat at-Tharim ayat 06 tersebut, tampak jelas bagi kita bahwa pendidikan akhlak merupakan tanggungjawab orang tua terhadap anaknya bukan tanggungjawab sekolah. Inilah yang menunjukan kegagalan orang tua dalam mendidika anaknya dalam keluarga. Krisis moral yang dialami bangsa Indonesia saat ini karena bobroknya akhlak dan moral generasinya. Hal ini disebabkan karena orang tua telah gagal dalam memberikan dan menananmkan nilai-nilai ajaran agama kepada anaknya dalam keluarga.

C. KESIMPULAN
Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Tak heran bila kini pemerintah mewajibkan program belajar 9 tahun agar masyarakat menjadi pandai dan beradab. Pendidikan juga merupakan metode pendekatan yang sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan dan perkembangannya

Dengan demikian, Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berhenti mencari ilmu, karena ilmu itu begitu luasnya. Semakin banyak yang diketahui akan semakin sadar manusia itu, bahwa begitu banyak yang belum dia ketahui. Itulah agaknya kenapa dalam wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kata iqra’ diulang dua kali. Hal itu berarti bahwa membaca dan proses belajar harus selalu dilakukan. Sebab, semakin banyak kita membaca semakin mulia kita di depan manusia dan di mata Allah SWT karena kemulian Tuhan akan diberikan kepada orang yang selalu membaca dan menuntut ilmu.

Dari penjelasan di atas, kita semua menginsyafi, bahwa pendidikan merupakan persoalan strategis bagi sebuah bangsa. Pendidikan bukan saja penting bagi upaya melahirkan individu dan masyarakat yang terpelajar, tetapi juga untuk membangun generasi baru yang siap menghadapi tantangan masa depan. Selain itu, pendidikan juga menjadi bekal utama sebagai persiapan memasuki kompetisi global, sebuah persaingan antarbangsa yang demikian ketat dan berpengaruh terhadap semua dimensi kehidupan: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pada akhirnya pendidikan juga akan menentukan kualitas sebuah bangsa, serta berpengaruh signifikan dalam mendorong proses transformasi sosial menuju kehidupan yang maju, modern, dan bermartabat. Basar harapkan penulis, bahwa kita harus menyadari keterburukan dan krisi akhlak dan moral yang dialami bangsa Indonesia di era global ini, disebabkan karena gagalnya orang tua membnagun pendidikan anaknya dalam keluarga. Maka dari itu, penulis mengimbau kepada seluruh orang tua agar memperhatian pendidikan anaknya dalam keluarga dan selalu memantau perkembangan fitrah anak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Abrasyi, Athiyah. 1987. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan. Jakarta: PT. Bulan Bintang
2. Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1992. Tafsir Al-Maraghi 21. Semarang: CV. Toha putra
3. Langgulung, Hasan. 1992. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna
4. Katsir, Ibnu. 2005. Tafsir Ibnu KatsirJilid 6, terj. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i
5. Noor Sjam, Muhammad. 1973. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: FIP HUP MalanG
6. Suprayogo, Imam. 2004. Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an. Malang: Aditya Media bekerjasama dengan UIN Malang Press
7. Suharto, Toto. 2006Filsafat Pendidikan Islam. Yogjakarta: Ar-Ruzz
8. Tafsir, Ahmad. 1992 Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya
9. Zuhairini, Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Malang: UIN dan UM Press, 2004)

PRO-KONTRA PEMBERIAN GELAR PAHLAWAN NASIONAL

Posted in Uncategorized on Januari 5, 2010 by mghazakusairi

Oleh: M. Ghaza Kusairi

Kepergian DUSDUR begitu menyedihakan bagi para intelektual bangsa ini, terutama para insan akademis yang merasa heliangan seorang bapak intelektual yang pemikirannya telah banyak mempengaruhi pemikiran pada era globalisasi ini. Walaupun pemikiran-pemikiran DUSDUR banyak yang menimbulkan pro-kontra dimasyarakat, karena arah pemikirannta sulit untuk dipahami oleh manusia biasa. Akan tetapi tidak bagi para insan akademis, jusatru pemikiran-pemikiran nyeleneh DUSDUR inilah yang banyak memberikan inspirasi pada pola piker intelektual saat ini dalam mengembangan ilmu pengetahuan

Selamat jalan Guru Bngasa, selamat jalan bapak intelektual Indonedia, selamat jalan bapak Reformasi, kami sangat kehilanganmu GUSDUR. Kepergian DUSDUR, rakyat Indonesia merasa kelangan putra bangsanya terutama para pengikut NU. Jasa belaiau akan selalu dikenang seluruh insan akademis diseluruh dunia ini.

Tidak dapat kita pungkiri, bahwa jasa GUSDUR cukup besar dalam memajukan bangsa ini, terutama dalam dunia intelektual, beliau memberikan corok pada pemikir-pemikir Indonesia saat ini. Namun setelah DUSDUR telah tiada, pro-kontar dimasyarakat bermunculan, terutama dikalangan elit politik yang sangat mengagumi GUSDUR. Pro-kontra yang muncul berkaitan dengan gelar apa yang pantas diberikan kepada GUSDUR.

Inilah yang harus kita sikapi dengan bijaksana, dalam pemberikan gelar Pahlawan Nasional itu cukup pantas bagi GUSDUR, jasa belaiau telah banyak membantu bangsa ini. Lalu kita menegok kebelakang, bagaimana dengan almarhum SOEHARTO, jasa beliau dalam memajukan bangsa ini juga cukup besar, disinilah permasalahan muncul dalam sudut pandang saya. Apa sebenarnya kriteria untuk memperoleh gelar PAHLAWAN NASOINAL tersebut. GUSDUR dan SOEHARTO pantas mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tersebut berkat jasa-jasa beliau selam mengabdi kepada bangsa dan Negara Indonesia ini.
Jika gelar Pahlawan Nasional hanya diberikan kepada GUSDUR, ini tidak adil dan pemberikan gelar ini banyak dipolitisir oleh para elit-elit politik. Jika GUSDUR bisa mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, lalu kenapa SOEHARTO tidak, ada apa dengan pemberikan gelar ini. Embrio dan dasar pembangun bangsa ini tidak lepas dari jasa almarhum SOEHARTO. Kita bisa menikmati bangsa ini juga berkat jasa SOEHARTO yang telah mambangunnya kurang lebih 32 tahun, waktu yang cukup lama untuk pengabadian kepada bangsa dan Negara.

GUSDUR dan SOEHARTO, suka atau tidak, beliau berdua adalah putra bangsa Indonesia yang harus mendapat gelar PAHLAWAN NASIONAL. Jika hal ini hanya diberikan kepada GUSDUR semata, maka ini tidak adil. GUSDUR dan SOEHARTO dalam pelengseran mereka dari Presiden RI sama dipaksa untuk melepas jabatan kepresidenan RI. Jika gelar Pahlawan Nasional hanya diberikan pada GUSDUR, lalu mengabaikan jasa-jasa SOEHARTO, saya pribadi tidak setuju dan ini tidak bisa dibenarkan jika kita pandang dari sudut keadilan.

Saya mengharapkan dalam menyikapi pemberian gelar Pahlawan Nasional harus lebih bijaksana dan adil. Justru sebenarnya gelar Pahlawan Nasional itu lebih pantas diberikan kepada SOEHARTO daripada GUSDUR jika kita lihat dari jasa-jasa beliau selama ini dalam memajukan negara Indonesia tercintai, disamping kita tidak bisa lepas dari kekuarang dan kelebihan beliau berdua. Janganlah dalam pemberikan gelar ini hanya untuk kepentingan politik, golongan dan suku, tetapi untuk kepentingan bangsa ini.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional, tidaklah dipermasalahkan oleh rakyat Indonesia jika bisa berlaku adil. Permasalahan-permasalahan itu akan muncul jika gelar Pahlawan Nasional hanya diberikan kepada GUSDUR lalu mengabikan SOEHARTO karena hal ini demi kepentingan politik dan golongan, ini tidak bisa diterima. Tanpa diberikan gelar Pahlawan Nasional pun, GUSDUR dan SOEHARTO adalah Pahlawan Bangsa ini tidak bisa kita pungkiri.

Maka dari itu, saya sebagai insan akademis, mengibau pemerintahan Indonesia bersatu SBY-Boediono dan para elit politik untuk menyikapi hal dengan kacamata keadilan. Gelar Pahlawan Nasional tidak boleh hanya diberikan kepada GUSDUR semata, tetapi juga kepada SOEHARTO. Saya mengatakan hal semacam ini, bukan berarti saya adalah pendukung SOEHARTO, justru sebaliknya, saya lebih mengagumi sosok GUSDUR dalam hal pemikiran beliau, tetapi dalam hal kepemimpinan bagi saya, SOEHARTO lebih baik daripada GUSDUR, walaupun unsur-unsur KKN berkembang dengan subur ketika pemerintahan SOEHARTO. Dalam dunai keilmuan, GUSDUR luar biasa yang sangat dikagumi oleh seluruh dunia, terutama pola pikir beliau (GUSDUR) dalam menyampaikan gagasan-gagasan. Tetapi dalam hal kepemimpinan , pada dasarnya GUSDUR gagal.

Melihat jasa GUSDUR dan SOEHARTO dalam mamajukan bangsa ini, sangatlah besar yang tidak bisa dihargai dengan Pahlawan Nasional, GUSDUR dan SOEHARTO pantas mendapatkan yang lebih dari sekedar Pahlawan Nasional. Apa sebenarnya tujuan dari pemberian gelar Pahlawan Nasional tersebut, apa sekedar agar GUSDUR dikenal generasi-generasi berikutnya. Perlu kita ketahui, tanpa pemberian gelar Pahlawan Nasional pun, GUSDUR akan tetap dikenang orang untuk selamanya, begitu juga dengan SOEHARTO.

Apakah pemberian gelar Pahlawan Nasional ini hanya untuk menambah wacana baru dari kalangan elit politik dan acara berita di televisi yang harus disikusikan setiap hari dengan mengudang pakar ini pakar itu, sehingga para dukunpun di undang untuk mendiskusikan hal ini. Jika wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional ini hanya mancari sensasi atau ingin populer semata, ini merupakan keodohan yang sangat memalukan. Kenapa kita sibuk mengurus hal ini, hanya mengabiskan waktu saja. Kenapa tidak langsung saja memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum GUSDUR dan SOEHARTO yang pemberitaannya menghiasai setiap program televisi Indonesia saat ini. Jangan-jangan Presiden kita sekarang SBY juga mau pesan gelar Pahlawan Nasional jika beliau telah tiada. Marilah kita sikapi dengan adil dalam pemberian gelar Pahlawan Nasional, GUSDUR adalah Pahlawan Nasional SOEHARTO pun juga Pahlawan Nasional tanpa kita sadar hal itu. SELAMAT JALAN GUSDUR…..

BERITA GOSIP

Posted in Uncategorized on Desember 30, 2009 by mghazakusairi

Oleh: M. Ghaza Kusairi

Keberadaan program TV yaitu GOSIP merupakan suatu hal yang harus kita cermati lagi. Para pembawa acara GOSIP dengan santainya menyampai aib orang lain tanpa merasa berdosa. Saya sejutu dengan keputusan ketua NU, K.H. Hasyim Musyadi, bahwa program GOSIP adalah HARAM.

Jika ini dibiarkan terus, maka para pembawa acara GOSIP dengan seenaknya sendiri menyampaikan aib orang lain pada publik, ini harus kita berantas bersama. JIka sutau negara telah dupenuhi oleh hal-hal semacam ini, maka kita tinggal menunggu kehancuran peradaban negeri Indonesia ini.

Dari sudut pandang apaun, dalam pengamatan saya, berita GOSIP tidak ada manfaatnya bagi kita, malah keberadaan berita GOSIP ini membuat perpecahan, saling membenci dan curiga-mencurigai satu sama lain,lalu kenapa hal ini kita biarkan. Janganlah negara kita ini diisi oleh para pembawa dan penyampai dusta kepada publik.

Orang yang mencoba menyampaikan atau menceritakan aib saudaranya pada publik, baik dengan sembunyi maupun dengan terang-terangan, mereka bagaikan pemakan bangkai yang telah membusuk. Maksudnya apa, bahwa para pembawa acara GOSIP lebih hina dari pada bangkai yang telah membusuk.

Mari kita sikap hal dengan baik. jangan sampai bangsa ini dihiasi oleh para pendusta

HILANGNYA HATI PARA PEMIMPIN

Posted in Uncategorized on Desember 30, 2009 by mghazakusairi

Oleh: Bang Ghaza
Disaat rakyat sedang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik kebutuhan ekonomi, kesehatan maupun pendidikan. Masih banyak rakyat Indonesia yang tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonominya. Kelaparan masih yang dialami oleh rakyat masih terdapat disetiap sudut perkotaan, banyak anak-anak remaja tidak bisa melajutkan penididkan, semua ini karena tidak ada biaya untuk itu semua.
Namun disisi lain, ada orang yang tidak lagi memiliki hati, peduli sesama. Mereka berlambo-lomba mengumpulkan kekayaan demi memenuhi hawa nafsunya semata.
Misalnya boleh kita katakan, para pemerintahan JILID II ala SBY-Boediono tidak lagi peduli dengan penderitaan rakyat. Hal ini terlihat dengan fasilitas mobil mewah yang diberikan kepada para menteri-menteri binaan SBY-Boediono JILID II saat ini. Mobil dengan harga 1.3 M suatu yang luar biasa dengan prestasi yang bisa dibilang pas-pasan. Apakah tidak cukup dengan gaji puluhan juta?
Apakah mereka ini tidak waras lagi sehingga tidak peduli kepada rakyat. Masih banyak anak-anak Indonesia yang tidak bisa melajutkan pendidikan karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan, tetapi mengapa para pemerintahan JILID II ini tidak mau peduli. Salah satu bunyi dari amanat UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Walaupun keberadan mobil mewah tidak semua para pejabat menerimanya, mereka menolak dengan terang-terangan. Jika pemerintahan tidak pernah peduli dengan rakyat kecil, maka tunggulah cepat atau lambat negara Indonesia akan binasa karena ulah para pemimpinnya yang tidak memiliki hati dan sudah tidak waras.
Andaikan biaya untuk mobil mewah para pejabat JILID II ala SBY-Boediono dialokasikan untuk biaya pendidikan anak yang putus sekolah, maka secara tidak langsung kita telah memberantas kebodohan, kemiskinan dan keterpurukan moral. Jika tidak demikian, maka biaya tersebut untuk mengobati kejiwaan para pajabat yang tidak waras yang tidak punya hati lagi.
Ada anggapkan dikalangan masyarakat kita, bahwa rakyat Indonesia mengalami krisis moral, namun tidak demikian sebenarnya, yang mengalami krsisi moral adalah para pemerintahan saat ini. Mereka inilah yang harus dididik kembali, jika tidak maka tidak akan ada perubahan yang lebih baik.

PENDEKATAN ANTROPOLOGIS DALAM KAJIAN ISLAM

Posted in Uncategorized on Desember 21, 2009 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragamanya. Fenomena keagamaan itu sendiri merupakan perwujudan dari sikap dan perilaku manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat, yang berasal dari kegaiban.
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam karena konsep manusia sebagai ”Khalifah” (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropologi menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Dengan demikian, memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawatah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengalaman agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia. Jika mengkaji tentang manusia, maka kita tidak bisa melepaskan manusia dari objek kajian kita.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Antropologi
Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata. Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Dr Akbar S. Ahmad menjelaskan bahwa antrpologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi gartisigasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisa yang tenang (tidak memihak) menggunakan metode komgeratifi.
Definisi yang lain antropologi adalah studi tentang manusia dalam semua aspek meskipun sebagian besar antropologi telah menulis seolah-olah mereka mampu, secara keseluruhan antropologi sosial telah mengkonsentrasikan dirinya mempelajari manusia dalam aspek sosialnya, yakni hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat yang hidup. Tentu saja antropologi terterik kepada manusia karena mereka adalah bahan mentah dimana dia bekerja sebagai seorang antropologi sosial, bagaimanapun perhatian utamanya adalah dengan apa manusia ini berbagi dengan yang lainnya. Mereka mengkonsentrasikan diri mereka utamanya terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan dan secara relatif mempertahankan ciri-ciri masyarakat dimana mereka terjadi.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensil, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lain. Islam sangat memuliakan keberadaan manusia, yaitu Allah ciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini dengan segala kemampuannya.
Usaha terberat ilmuan muslim untuk membangun antropologi Islam adalah bagaimana mengelaborasi warisan antropologis yang telah ditinggalkan oleh ilmuan muslim terdahulu, kemudian merekonstruksi warisan keilmuan itu dalam format keilmuan modern. Begitu juga dalam mencari definisi yang tepat untuk mengartikan natropologi itu sendiri. Sepanjang waktu, pemahaman tentang antropologi selalu mengalami perubahan. Antropologi bermula pada abad-19 sebagai penelitian terhadap asal-usul manusia. Penelitian antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia. Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.
Islamisasi tidak lagi berarti menempatkan berbagai tubuh ilmu pengetahuan dibawah masing-masing dogmatis atau tujuan yang berubah-ubah, tetapi membebaskannya dari belenggu yang senantiasa mengungkungnya. Islam memandang semua ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang kritis, yakni universal, penting dan rasional. Ia ingin melihat setiap tuntutan melampaui teks hubungan internal, akan sesuai dengan realitas, meninggikan kehidupan manusia dan moralitas. Karenanya, bidang-bidang yang telah kita islomisasikan akan membuka halaman baru dalam sejarah semangat manusia dan lebih menekatkan kepada kebenaran. Antropologi seperti semua disiplin ilmu pengetahuan lainnya, harus membebaskan dirinya dari visi yang sempit. Ia harus mempelajari sesuatu yang baru, sederhana, tetapi kebenaran yang primordinal dari semua ilmu pengetahuan yaitu kebenaran pertama Islam.
Berdasarkan penjelasan diatas, perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam berkaitan dengan antropologi sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya. Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia.

B. Objek Kajian Antopologi Islam
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agana dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawanannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek konteks sosial yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya dan ulah pikir manusia tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Secara garis besar kajian dalam antropologi Islam dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis, yaitu:
1. Intelektual (intelectualist)
Tardisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intlektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan religius dalam masyarakat.
2. Struktural (structuralist)
Pada bagian ini mencoba untuk mengkaji agama berdasarkan struktur sosial masyarakat. Dengan mengkaji hal ini, maka akan mempermudah dalam memahami agama manusia. Hal ini mencoba mencari hubungan individu, masyarakat dan agama dalam lingkungan sosial, tetapi tidak seja secara sosial namun juga dalam masalah ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.
3. Fungsional (funcsionalist)
Yang menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme adalah fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama, sebagai penguat solidaritas manusia. Fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan akal sehat (rasionalitas) dan kemampuan menggunakan teknologi.
4. Simbolis (symbilits)
Makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat menghilhami para antropologi untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Ritual agama tidak hanya sebagai kewajiban saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai Khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
                     •        
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah: 30)
Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya dan pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuahanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang mejadi pusat perhatian antropologi Islam, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan al-Qur’an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk menjelaskan konsep keshalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien”, untuk menjelaskan konsep sabar, al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan al-Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.

Sejarah ilmu pengetahuan justru mengukir dengan tinta emas bahwa ilmuan Islamlah yang telah membangun dan menyusun konstruksi ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tercatat nama-nama Ibn-Khaldun, al-Biruni, Ibn-Bathuthah, al-Mas’udii, al-Idrisi, Ibnu Zubair serta Raghib al Ashfahani yang menulis kitab Tafshil ‘n Nasyatain wa Tahshil ‘s Sa’adatain. Pada era modern ini, terdapat beberapa ilmuan Islam yang telah melakukan kajian antropologis, seperti Dr. Bintu Syathi, ‘Abbas Mahmud al ‘Aqqad, Dr. Aminah Nushair, Abdul Mun’im Allam, Muhammad Khadar, Dr. Zaki Isma’il, Dr. Akbar S. Ahmad, Kurshid Ahmad, Muhammad Iqbal, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Abul Wafa at-taftazani, Al ‘Ajami dan ilmuan lainnya.
Dengan demikian, realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan, dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Jika mempelajari realitas manusia, maka dengan segala aspeknya adalah mempelajari Tuhan berdasarkan agama dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia yang tercermin dalam bermacam-macam ragam budaya, maka diperlukan cross culture untuk melihat realitas universal agama. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh budaya.
Usaha yang lebih meluas adalah membentuk sebuah konsep keilmuan Islam, yang mencakup tidak saja antropologi namun juga ilmu-ilmu sosial lainnya. Jamaluddin ‘Athiyyah menawarkan apa yang ia namakan dengan ‘ilmu umm—mother knowledge, yang darinya pilsafat ilmu Islam digagas. Ilmu ini terdiri dari tauhid sebagai pokok dari sekalian ilmu. Darinya akan berkembang ilmu-ilmu lain sebagai margin-margin yang menyerap cahaya ‘ilmu umm tersebut. Secara cerdas, dengan substanssi yang sama, Ziauddin Sardar menawarkan untuk membentuk world View Islam. Dalam konsep ini, epistemologi Islam disusun dari sintesa aqidah, syari’ah dan akhlak. Epistemologi ini akan menjadi aksis meminjam istilah S.H. Nasr bagi sistem pandangan dunia Islam, mencakup Sains dan tekhnologi, struktur politik dan sosial, usaha ekonomi, serta teori lingkungan.
Kemudian, setelah sistem pandangan dunia Islam tersebut dapat dirumuskan, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:
1. Mengembalikan wahyu sebagai sumber antropologi. Dari al-Qur’an dan Hadits ditelusuri konsep-konsep maupun petunjuk tentang antropologi Islam . Nash-nash tersebut, sebagian memberikan kata putus pada beberapa masalah antropologis, dan sebagian lain hanya memberikan tuntunan dalam kajian antropologis. Di sini, dibutuhkan suatu usaha untuk mengklasifikasikan sumber-sumber tersebut dan kemudian menyimpulkan inti sari dari petunjuk- petunjuk tersebut, sehingga dihasilkan petunjuk konsep antropologis Islami yang utuh.
2. Menjadikan tauhid sebagai dasar teoritis-metodologis dalam melakukan riset-riset ilmiah. Dalam langkah ini, konsep-konsep antropologi Barat yang materialis dibersihkan dari unsur-unsur materialisme dan atheisme, kemudian ditiupkan didalamnya konsep tauhid sebagai ganti dari kecenderungan materialis dan atheis tersebut.
3. Membebaskan anggitan keilmuan antropologi dari metodologi empiris yang terbatas. Sebaliknya, dalam anggitan antropologi Islam yang kita gagas menggunakan multi metodologi; induksi, deduksi, exprimental, historis, palsafi, dan tekstual.
4. Menciptakan kedisiplinan ilmiah dan membebaskan riset ilmiah dari pengaruh ideologis.
5. Mengembalikan unsur moral/akhlak dalam riset ilmiah. Dalam konsep-konsep antropologi Barat, manusia “ditelanjangi” dari nilai-nilai yang ia pegang serta kecenderungannya, maka dalam konsep antropologi Islam unsur akhlak ini dimasukan sebagai bagian dari konsep tersebut.

Setelah langkah-langkah di atas dilaksanakan, maka kita sudah mendapatkan sebuah konsep antropologi Islam yang utuh. Namun dengan terciptanya sebuah konsep tidak serta merta menghasilkan apa yang diinginkan jika tidak dilakukan langkah aplikatif yang real. Oleh karena itu, untuk mewujudkan secara real konsep-konsep antropologi Islam, Akbar S. Ahmad menyarankan untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menulis sejarah sosial yang ringkas tentang sirah Rasulullah Saw. yang bisa dipahami oleh orang Muslim maupun non-muslim. Sehingga dari sejarah masyarakat Islam ideal —meminjam istilah Akbar S. Ahmad — tersebut dapat ditarik suatu konsep tentang masyarakat Islam yang dicita-citakan.
2. Menulis buku-buku antropologi percontohan berkualitas tinggi, kemudian buku- buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa besar umat Islam. Sehingga buku-buku tersebut bisa menjadi acuan kajian lanjutan di semua wilayah masyarakat Islam.
3. Menulis buku-buku kajian antropologis tentang setiap wilayah Islam, kemudian buku itu disebarkan ke seluruh dunia Islam.
4. Menseponsori pakar-pakar antropologi Islam untuk mengadakan penelitian atas seluruh wilayahh negara Islam.
5. Mengadakan kajian komparatif antara setiap wilayah-wilayah masyarakat Islam, sehingga kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih untuk tentang masing- masing wilayah tersebut.
6. Menguasai secara utuh prinsip-prinsip teknis kajian sosial, terutama yang berkaitan dengan pembangunan, sehingga bisa dirancang sebuah agenda pembangunan duni Islam bersama yang lebih baik pada abad dua puluh satu nanti.
7. Menelaah secara intens karya-karya ilmuan Islam yang berkaitan dengan sosiologi dan antroppologi, kemudian hasil telaah tersebut diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah atau buku khusus.
Setelah permasalahan, teori, konsep dan langkah-langkah di atas telah diuraikan, selanjutnya adalah bagaimana objek kajian antropologi Islam itu. Pertanyaan yang mungkin timbul kemudian adalah, topik apa saja yang akan menjad objek kajian antropologi Islam. Jamaluddin ‘Athiyyah, dalam artikelnya di jurnal The Contemporery Muslim menawarklan bahwa antropologi Islam yang kita gagas nantinya akan memberikan objek kajiannya pada topik-topik berikut ini:
1. Penciptaan manusia.
Dalam poin ini, akan dikaji tentang awal penciptaan manusia dan bagaimana manusia kemudian berkembang. Tentu saja teori evolusi Darwin akan menjadi bagian kajian point ini. Juga pertanyaan tentang apakah sebelum Adam as ada Adam-Adam lain. Seperti kecenderungan Iqbal, misalnya, yang mengatakan dalam bukunya The Reconstraction of Religious Thought in Islam, bahwa Adam yang disebut dalam al-Qur’an lebih banyak bersifat konsep daripada historis. Berkaitan dengan penciptaan manusia terdapat beberapa proses. Jika badannya diciptakan dari tanah, berarti telah ada proses lebih awal penciptaan berupa bahan tanah itu. Disini badan diabaikan, dan jiwa diperhatikan. Jiwa mengalami berbagai proses penanganan dan penyesuaian dengan berbagai fungsi dalam berbagai keadaan lingkungan. Namun, setiap jiwa manusia setelah dipisahkan dari badan, akan kembali kepada keadaan sebagaimana ia diciptakan, tidak lebih dari sejarahnya sendiri. Allah menjadiakan jiwa, dan memberikannya tata aturan, proporsi, dan kesempurnaan relatif, agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Allah memancarkan kepada jiwa pemahaman mengenai dosa, keburukan, kejahatan dan pemahaman mengenai kebaikan dan perilaku benar. Manusia mempunyai kewajiban spritual di bawah sebuah perjanjian dengan Allah: Allah telah menganugerahkan kepada manusia akal (reason), pertimbangan (judgement) dan bahkan posisi sebagai khalifah Allah di muka bumi, serta manusia diwajibkan beribadah keapda Allah dengan ikhlas serta mematuhi kehendak-Nya. Kebersihan dan kesucian jiwa merupakan proses atau kewajiban spritual yang harus dijalankan oleh manusia sepanjang kehidupannya di dunia.
2. Susunan manusia.
Akan dikaji tentang susunan yang membentuk manusia; tubuh, jiwa, ruh, akal, hati, mata hati dan nurani. Sehingga dapat didapatkan konsep manusia yang utuh sesuai dengan konsep Islam. Sehingga dengannya manusia akan berbeda dengan malaikat, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda mati. Sambil menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk-makhluk tersebut. Hal ini Allah jelaskan dalam firman-Nya yang berbunyi:
    •           
Artinya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Q.S. al-Nahl: 78)
Berdasarkan ayat tersebut, bahwa dalam mengemban tugasnya sebagai hamba Allah, manusia adalah makhluk yang paling sempurna dalam penciptaannya agar mereka lebih mudah dalam menjalankan agama yang diamanahkan kepada umat mausia.
3. Macam-macam manusia.
Meneliti tentang perbedaan manusia antara lelaki dan perempuan, suku-suku, bangsa-bangsa, perbedaan bahasa, dan hikmah dibalik perbedaan ini.
4. Tujuan diciptakannya manusia.
Mengkaji tujuan diciptakan manusia dan apa misi yang dibawanya di atas bumi. Sambil menjelaskan tentang pengertian ibadah, khilafah, pembumi dayaan dunia dan sebagainya.
5. Hubungan manusia dengan semesta.
Pada poin ini akan diteliti tentang konsep taskhir alam semesta bagi manusia. Apakah dengan konsep tersebut manusia adalah pusat semesta ini. Serta tentang equilibrium antara manusia dengan semesta dengan segala isinya. Hal ini akan berkaitan dengan ilmu lingkunngan hidup.
6. Hubungan manusia dengan Tuhan-nya.
Akan dikaji apakah beragama adalah fithrah dalam diri manusia. Juga tentang peran nabi-nabi, kitab-kitab suci dan ibadah dalam hubungan ini. Abu Hurairah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fitrah agama adalah Islam. Karena setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam) tetapi kedua orang tua dan lingkungannyalah yang mempengaruhi fitrah tersebut. Secara primordial manusia telah dikarunia fitrah. Fitrah sebagai karakter hakiki dan kepercayaan dasar manusia, yakni fitrah tauhid, suatu keyakinan akan keesaan Allah dan kesaksian bahwa tiada Tuhan (ilah) kecuali Dia, yakni Allah SWT. Dia itu Maha Tunggal, Maha Berkuasa, Maha Menatap, Maha Mengetahui, Maha Dibutuhkan atau tempat satu-satunya bergantung. Oleh karena itu, Dia sebagai tujuan akhir dari setiap diri kita maupun semua makhluk-Nya. Hal ini AllAh tegaskan dalam al-Qur’an yang berbunyi:
                         •   
Artinya.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu? mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (Q.S al-A’raaf:172)
7. Manusia masa depan.
Di sini akan dikaji tentang rekayasa manusia masa depan. Antara lain tentang pembibitan buatan, bioteknologi, manusia robot dan hal-hal lainnya. Dalam hal ini, antripologi Islam mencoba untuk mengkaji manusia yang akan datang dari segi perkembangan pola pikir dan peradabannya. Kelangsungan manusia kedepannya sangat mempengaruhi agama itu sendiri, jika keberadaan manusia akan hilang, maka secara atomatis agama kan hilang dari dunia ini. Tidak ada agama tanpa manusia. Dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, tanpa agama manusia akan menjadi orang-orang yang hanya mencari kekayaan materi semata.
8. Manusia setelah mati.
Pada poin ini akan dikaji tentang bagaiman manusia setelaha mati, serta apa yang harus ia persiapkan di dunia ini bagi kehidupannya di akherat nanti. Berbicara tentang kematian, hal ini merupakan problem yang dihadapi umat manusia. Setiap manusia akan mati dan akan diminta semua pertanggung jawabannya sebagai hambah dan khalifah Allah di muka bumi.

Tanpa bermaksud untuk memecahkan problema definisi agama yang sudah banyak dibicarakan dalam literatur kajian, disini kita melihat agama sebagai sejumlah fenomena atau menifestasi dari fenomena yang berkaitan dengan apa yang dipandangan dengan sistem Ilahiyah. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak bisa diabaikan bahwa ilmu antropologi berkembang dalam kebutuhan-kebutuhan kolonial. Antropologi merupakan ilmu yang menyelidiki manusia, dari segi fisik maupun budayanya. Tetapi sasaran antropologi Islam bukanlah manusia pada umumnya, melainkan manusia tertentu khususnya manusia yang dianggap masih kurang berkembang. Kesadaran akan setuasi itu akan menampilkan pendekatan antropologi sosial atau antropologi budaya yang memusatkan perhatiannya pada kedudukan individu, hubungan efektif antar-individu, kelompok masyarakat kecil, hubungan manusia dengan alam, kedudukan dan peranan keluarga, serta peran agama yang menyakut tujuan hidup dan hakikat hidup itu sendiri.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agana dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawanannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana.
Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan dalam mengkaji pendekatan antropologis dalam kajian Islam antara lain:
1. Jika mengkaji antropologi Islam, maka yang menjadi objek utamanya adalah agama dan manusia. Berbicara masalah agama, maka kita tdak bisa lepas dari mengkaji dan memahami manusia karena tanpa manusia agama tidak akan ada
2. Mengembalikan wahyu sebagai sumber antropologi. Dari al-Qur’an dan Hadits ditelusuri konsep-konsep maupun petunjuk tentang antropologi Islam . Nash-nash tersebut, sebagian memberikan kata putus pada beberapa masalah antropologis, dan sebagian lain hanya memberikan tuntunan dalam kajian antropologis. Di sini, dibutuhkan suatu usaha untuk mengklasifikasikan sumber-sumber tersebut dan kemudian menyimpulkan inti sari dari petunjuk- petunjuk tersebut, sehingga dihasilkan petunjuk konsep antropologis Islami yang utuh.
3. Menjadikan tauhid sebagai dasar teoritis-metodologis dalam melakukan riset-riset ilmiah. Dalam langkah ini, konsep-konsep antropologi Barat yang materialis dibersihkan dari unsur-unsur materialisme dan atheisme, kemudian ditiupkan didalamnya konsep tauhid sebagai ganti dari kecenderungan materialis dan atheis tersebut.
4. Membebaskan anggitan keilmuan antropologi dari metodologi empiris yang terbatas. Sebaliknya, dalam anggitan antropologi Islam yang kita gagas menggunakan multi metodologi; induksi, deduksi, exprimental, historis, palsafi, dan tekstual.
5. Menciptakan kedisiplinan ilmiah dan membebaskan riset ilmiah dari pengaruh ideologis.
6. Mengembalikan unsur moral/akhlak dalam riset ilmiah. Dalam konsep-konsep antropologi Barat, manusia “ditelanjangi” dari nilai-nilai yang ia pegang serta kecenderungannya, maka dalam konsep antropologi Islam unsur akhlak ini dimasukan sebagai bagian dari konsep tersebut.

Posted in Uncategorized on Desember 19, 2009 by mghazakusairi

MUNCULNYA ISLAM LIBRAL DI INDONESIA
Oleh: M. Ghaza Kusairi

Memasuki kemerdekaan Indonesia, gerakan pembaruan Islam menurun. Tokoh Islam lebih banyak mencurahkan energi mengupayakan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar terlibat dalam perdebatan isu keislaman pada tahun 1930-an. Agus Salim dan Muhammad Natsir sibuk dengan politik, terlibat aktif dalam pemerintahan Soekarno-Hatta. Salim pernah menjabat sebagai menteri luar negeri; Natsir menteri penerangan kemudian perdana menteri. Mungkin karena keterlibatan mereka yang intensif dengan dunia politik, para tokoh Islam tak sempat merenung dan berefleksi mendalam terhadap persoalan pembaruan Islam. Gerakan Islam Liberal menemukan momentumnya kembali di Indonesia pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi santri baru yang lebih banyak berkesempatan mempelajari Islam dan melakukan refleksi lebih serius atas berbagai isu sosial-keagamaan. Seperti berulang dicatat buku sejarah, tokoh paling penting dalam gerakan pembaruan ini adalah Nurcholish Madjid.1 Sumbangan yang paling besar bagi Indonesia adalah gagasannya tentang sekularisasi Nurcholishlah cendikiawan pertama yang meyakinkan kaum Muslim Indonesia: menjadi seorang Muslim yang baik tak harus berafiliasi kepada partai Islam. Memperjuangkan Islam tak harus lewat lembaga atau partai dengan nama Islam. Baginya, Islam bisa diperjuangkan dengan berbagai cara, lewat berbagai medium. Pandangan ini cukup ampuh. Tiga dekade kemudian, dalam dua Pemilu (1999 dan 2004) tak banyak kaum Muslim yang tertarik dengan partai Islam dan agenda negara Islam, yang pada tahun 1960-an dianggap sakral. Nurcholish tak sendirian. Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin banyaknya intelektual santri yang muncul. Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali, dan Ahmad Syafii Maarif adalah di antara para eksponen pembaruan yang mewarnai kancah pemikiran Islam dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Semua intelektual ini menganggap diri sebagai penerus cita-cita kebangkitan (nahdah) dalam semangat Abduh, Qassim Amin, Ali Abd al- Raziq, dan Muhammad Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di Universitas Islam Negeri (UIN) maupun Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.2

Sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannya dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Islam Liberal. Tiap kamis sore JIL menyiarkan wawancara langsung (talkshow) dan diskusi interaktif dengan para kontributor Islam Liberal, lewat kantor, Berita Radio 68H dan puluhan radio jaringannya.3 Dalam konsep JIL, talkshow itu dinyatakan sebagai upaya mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai ”pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial keagamaan di tanah air. 4

Forum ini berawal dari komunitas diskusi beberapa intelektual muda muslim yang sudah berjejaring sebelumnya. Salah satu penggagasnya adalah jurnalis senior Goenawan Mohammad 2001. Forum ini berkembang menjadi forum mailing group. Sejak Maret 2001 forum ini mulai aktif sebagai Jaringan Islam Liberal, terutama dalam menyelenggarakan diskusi-diskusi. Pada usia awalnya, perkembangan forum ini juga tak lepas dari dukungan dan kontribusi beberapa intelektual di luar maupun dari dalam kalangan JIL, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Sahal, Budhy Munawar-Rachman, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Rizal Mallarangeng, Denny J. A., Ihsan Ali-Fauzi, A.E. Priyono, Samsurizal Panggabean, Ulil Abshar Abdalla, Saiful Mujani, and Hadimulyo.

JIL tidak punya sistem keanggotaan untuk menjaga kelonggaran dan inklusivisme. Setelah Ulil Abshar-Abdalla dan Hamid Basyaib, saat itu koordinator JIL adalah Luthfi Assyaukanie, seorang tokoh Islam liberal muda alumni Yordania, ISTAC Malaysia, dan University of Melbourne, Australia. Di awal masanya, JIL juga bekerja sama dengan The Asia Foundation sebuah yayasan yang peduli terhadap sekulerisme, pluralisme, liberalisme, hingga kesetaraan gender. Saat ini ada beberapa lembaga donor yang bekerja sama dengan JIL, di samping dana sumbangan dari perorangan.5

Dalam sejarah perjalanan politik Indonesia, kelompok sekuler berhasil mempertahankan dominasinya dalam perpolitikan di Indonesia, sejak kemerdekaan sampai zaman reformasi. Usaha-usaha untuk menetapkan Islam sebagai agama resmi negara atau menerapkan syriat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara senantiasa mengalami kegagalan. Bahkan, setelah reformasi, tokoh-tokoh Islam turut menolak dimasukkannya ”tujuh kata” dari Piagam Jakarta ke dalam konstitusi.6 Jadi menurut Adian perjuangan kelompok Islam Liberal di Indonesia secara jelas hendak membentuk negara sekuler. Mereka sudah menyatakan secara terbuka dan mendapat dukungan kuat dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Hal inilah yang belum pernah terjadi dalam sejarah Islam di Indonesia. Sebab, dulunya yang mengembangkan paham sekuler bukanlah dari kelompok-kelompok dan organisasi Islam, tetapi dari kelompok sekuler atau kebangsaan.

A.Islam Liberal di Timur tengah
Ada alasan khusus dalam mengkaji Islam liberal di Timur tengah, hal ini dapat kita amati dari awal mula munculnya tokoh Islam liberal itu. Seperti, pada abad ke 18 di kerajaan Turki Ustmani. Soal Timur Tengah, ada satu image bahwa Timur Tengah lebih kental dengan Islam Tradisional atau Islam Fundamentalis. Padahal kalau kita menelusuri sejarah kebangkitan Islam di kawasan itu, pembaruan dipelopori oleh tokoh Islam liberal. Saya ingin mengambil contoh, kalau kita berbicara tentang Arab, maka yang paling penting adalah berbicara tentang Mesir, karena Mesir merupakan pusat kebangkitan di dunia Arab. Meskipun di Tunisia ada Muhammad al-Sanusi. Perkembangan Islam liberal di Timur Tengah berbeda dengan perkembangan di Barat dan Indonesia.7 Di Timur Tengah ada kemunduran dari gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah. Mengapa? Karena gerakan ini sudah berjalan dua ratus tahun lebih dan tidak ada kemajuan yang berarti. Kalau kita kembali ke masa silam, ketika Islam berada pada masa-masa penterjemahan pada abad ke-2 dan ke-3 H, periode ini tak berlangsung lama. Karena masa-masa penerjemahan buku tak berlangsung lama, karena setelah itu muncul ulama-ulama dan filosof-filosof besar. Artinya ada kemajuan yang sangat cepat dan signifikan. Seperti halnya Madrasatullughah yang didirikan oleh Tahtawi sudah berusia dua ratus tahun, tapi tidak melahirkan pemikir-pemikir sekaliber intelektual Arab masa silam. Seharusnya setelah penerjemahan adalah ibda’ atau kreasi. Hal ini berarti perkembangan Islam liberal di Timur Tengah kurang menarik untuk diperbincangkan dalam lingkungan pemikir-pemikir modern yang skuler. Timur Tengah juga sering dikabarkan dimedia sebagai citra yang Fundamentalis dan teroristik saja. Padahal dalam kenyataannya di wilayah itu sering terjadi ketegangan, terjadi dialektika, dan banyak sekali arus-arus pemikiran yang sangat beragam, dari yang sangat liberal, sampai yang fundamentalis atau puritan.

B.Gagasan Islam Liberal
Kalangan liberal membagi wilayah kehidupan menjadi dua, yaitu wilayah privat dan wilayah publik. Ritus-ritus keagamaan merupakan sesuatu yang terkait dengan persoalan privat, sedangkan persoalan kenegaraan merupakan wilayah kehidupan publik. Al-Quran menurut kalangan liberal lebih memberikan penekanan pada penciptaan masyarakat yang adil, ketimbang ideologi negara.
Kaum liberal juga berpandangan, terjadinya kesalahan kalangan tertentu dalam memahami status Syari’ah. Al-Qur’an, menurut Islam liberal memaksudkan Syariah sebagai jalan (path), bukan sebagai sistem hukum yang siap pakai untuk diberlakukan. Bahkan menurut pandangan liberal yang lain, hukum Allah itu sebenarnya tidak ada, apabila hukum itu di anggap sebagai seperangkat aturan yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Secara singkat, Syari’ah bukanlah kaidah-kaidah, aturan-aturan, dan hukuman-hukuman, melainkan spirit yang berkelanjutan dalam menciptakan aturan-aturan baru, melakukan pembaharuan dan interpretasi-interpretasi modern. Ia adalah sebuah gerak langkah dinamis yang selalu membawa manusia pada tujuan-tujuan yang mulia, supaya mereka tidak terjebak ke dalam teks, terkoyak dalam lafal dan tenggelam dalam ungkapan.

Penolakan atas pemberlakuan Syari’ah dalam kehidupan negara berpijak pada dua argumen dasar yaitu: pertama, tidak adanya pengertian yang memadahi dan absolut menenai apa yang disebut Syari’ah. Apakah yang dimaksud Syari’ah adalah hukum-hukum agama seperti aturan ibadah, hukum-hukum mu’amalat, ataukah ajaran-ajaran sebagaimana termuat dalam khazanah fikih? Kedua, penolakan atas pemberlakuan Syari’ah Islam dalam kehidupan negara juga didasarkan berdasarkan argumen demokrasi. Demokrasi dalam pendangan liberal merupakan instrumen bagi pencapaian indeks kemaslahatan publik.

Menurut pemikiran liberal, Syari’ah dalam bentuk formalnya menyimpan sejumlah komplikasi, terutama kaitannya dengan discourse dan praxis kehidupan negara modern. Oleh karena itu agenda pemikiran yang sesungguhnya bagi umat Islam adalah melakukan dekonstruksi8 terhadap konsep Syari’ah Islam.

Gender equality merupakan salah satu gagasan penting dari gerakan Islam liberal. Tidak sebagaimana persoalan lain, seperti demokrasi yang bisa diselesaikan baik melalui perspektif silent Syari’ah maupun interpretative Syari’ah9 yang bisa memperkuat maupun mengintrodusir kepentingan demokrasi bagi kehidupan Islam modern, persoalan kesetaraan gender justru banyak menghadapi sejumlah pernyataan tekstual Al-Qur’an maupun hadits yang menunjukkan penentangan terhadap hak-hak perempuan. Teks Al-Qur’an yang menyatakan lelaki adalah pemimpin wanita, dan teks Al-Hadits yang menyatakan bahwa tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang kaum perempuan, merupakan pernyataan yang menunjukkan penentangan terhadap hak-hak perempuan. Dalam teks seperti ini, islam liberal mengambil sikap dengan memandang teks mengandung bias dari kebudayaan Arab patriarchal. Namun demikian, Islam sesungguhnya telah mengangkat sedemikian tinggi derajat perempuan apabila dilihat dari sudut masa kelahiran Islam itu sendiri. Bagaimana tidak, di tengah ketiadaan hak-hak perempuan pada masyarakat Arab, Islam memberikan hak waris bagi perempuan. Namun demikian, seluruh ajaran mengenai perempuan ini sudah selayaknya ditafsirkan ulang dengan tetap berpegang pada prinsip ajaran Islam untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Kaum liberal meyadari adanya tafsir terhadap simbol-simbol agama kaitannya dengan kelompok agama lain. Mereka mengkritisi dengan surat Al-Baqarah ayat 12010, yang menyatakan ”orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela (membiarkan kamu), hingga kamu mengikuti ajaran mereka”. Ayat ini sering dijadikan justifikasi untuk bersikap curiga bahkan memusuhi terhadap kedua agama tersebut. Pandangan liberal menyatakan, ayat tersebut sama sekali terkait dengan pandangan yang prinsip dalam Islam mengenai keberadaan agama lain. Ayat tersebut sesungguhnya hanya terkait dengan permasalahan pemindahan kiblat sebagaimana diterangkan dalam ayat sebelumnya surat Al-Baqarah 11511, ”Allah adalah penguasa Timur dan Barat, kemanapun kamu menghadap maka akan menatap wajah (kekuasaan Allah)”. Dengan demikian, tidak ada landasan normatif untuk memandang sinis keberadaan agama lain. Setiap agama mempunyai kebebasan untuk menentukan kiblatnya masing-masing. Dan perbedaan kiblat itu bukanlah hal yang prinsip dan mendasar dalam agama-agama.

Bahkan agama samawi bersumber dari satu Tuhan. Tidak ada tujuan lain dalam kehidupan beragama kecuali untuk membebaskan manusia dari ketertindasan dan menciptakan keadilan di muka bumi. Dengan demikian, kehidupan agama yang pluralistik itu harus dikukuhkan dengan prinsip dasar persamaan dan keadilan untuk semua agama. Pluralisme menjadi sebuah keniscayaan dalam membangun hubungan agama yang lebih toleran dan dialogis.

Kebebasan berfikir merupakan pangkal dari prinsip-prinsip liberal lainnya. Dalam sejarah Islam persoalan-persoalan akal dan kebebasan berfikir telah menjadi perdebatan yang cukup panjang. Bagi kaum liberal, dapat dipastikan hampir tidak mungkin berlaku prinsip-prinsip liberal seperti demokrasi, kesetaraan gender, dan penafisran kontekstual terhadap teks-teks keagamaan, tanpa didasari atas prinsip kebebasan berfikir. Dengan kebebasan berfikir ini dimungkinkan adanya kewajiban manusia, juga ijtihad bagi pengembangan prinsip-prinsip dasar agama dimungkinkan.

Menurut kaum liberal, Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi pemikir, dan Syari’ah mendorong kaum muslim untuk melakukan refleksi dan penyelidikan. Hal ini karena kebebasan berfikir bagi kemajuan intelektual dunia Muslim. Bahkan kebebasan berfikir menjadi landasan utama keberagamaan yang sejati. Oleh karena itu, tokoh liberal Abdul Karim Sorous mengatakan: ”Siapapun yang menghapus kebebasan dari keimanan dan dinamisme dari pemahaman agama, baik melalui perebutan kekuasaan atau melalui perampasan, akan membahayakan landasan dan makna masyarakat agama. Memaksa setiap orang supaya beriman secara palsu: dan menutup gerbang kritik, revisi, modivikasi agar setiap orang tunduk pada satu ideologi tunggal, pastilah tidak akan menciptakan masyarakat yang religius, melainkan massa rakyat monolitik yang terteror, lumpuh, pasrah dan hipokrit”.12

Islam dan Liberal adalah dua istilah yang antagonis, saling berhadap-hadapan tidak mungkin bisa bertemu. Namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang “pas” dengan orang-orangnya atau pikiran-pikiran dan agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haq tetapi pada hakikatnya suara mereka itu adalab bathil karena liberal tidak sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasul Muhammad, akan tetapi yang mereka suarakan adalah bid’ah yang ditawarkan oleh orang-orang yang ingkar kepada Muhammad Rasulullah.13

D. Tokoh-Tokoh Islam Liberal
Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan permurnian, kembali kepada al-Qur’an dan sunnah. Pada saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Ada Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar. Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam.

Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877 ia membuka suatu kolese14 yang kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad adalah Pelopor Agung Rasionalisme.

Di Mesir muncullah Muhammad Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mu’tazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita, penulis buku Tahrir al-Mar’ah. Lalu muncul Ali Abd. Raziq (1888-1966). Lalu yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad hanyalah pemimpin agama. Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatakan bahwa yang dikehendaki oleh al-Qur’an hanyalah sistem demokrasi tidak yang lain.

Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis, ia menggagas tafsir al-Quran model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat moderen, dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam

Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur’an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur’an adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.

Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori gerakan kelompok liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wahid. Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama” .15

Dari tokoh-tokoh pencetus Islam liberal di atas, ada beberapa di bawah ini tokoh-tokoh pendukung beserta penerus yang melanjutkan pemikira-pemikiran Islam liberal. Mereka itu ialah:
– Charles Kurzman, University of North Carolina.
– Azyumardi Azra, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
– Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
– Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
– Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
– Edward Said
– Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
– Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
– Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
– Asghar Ali Engineer.
– Nasaruddin Umar, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
– Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
– Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
– Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
– Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
– Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
– Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
– Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
– Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
– Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
– Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
– Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
– Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
– Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
– Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok -Jakarta.
Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.16

Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut “Jaringan Islam Liberal”. Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah. Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dua Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih dikritik oleh orang pluralis.

Dari sekian tokoh-tokoh Islam liberal kita akan mencoba mengangkat pemikiran Nurcholis Madjid yang mana beliau adalah seorang pelopor Islam liberal di Indonesia. Dari dua tokoh dibawah ini, kita akan mempertanyakan pluralitas agama menurut Nurcholis Madjid dan Ulil Abshar Abdala. Alasan mendasar dari penulis mengambil kedua tokoh itu, karena keduanya sangat sering muncul di media. Nurcholis sebagai tonggak pertama berdirinya Islam liberal di Indonesia, dan begitu dengan Ulill sebagai koordianator JIL saat ini, yang ide-idenya sering menjadi bahan perbincangan pada http://www.islamlib.com.

Pluralisme atau kemajemukan agama menurut Cak Nur adalah sunatullah. Dalam banyak ayat, al-Quran menyebutkan kemajemukan sebagai sesuatu yang memang dikehendakai Allah. Karena itu, siapa saja yang berusaha menolak kemajemukan sama artinya dengan menolak sunnatullah. Meurut Rektor Universitas paramadina ini, karena kehidupan bermasyarakat itu majemuk, maka tak boleh ada pemaksaan kehendak, termasuk memaksa seorang untuk beriman. Menurutnya tidak boleh ada pemaksaan dalam beragama disini sangat banyak seperti, tidak boleh memaksa manusia memeluk satu agama tertentu. Agama-agama yang ada betul-betul bersifat standar dan mempunyai kitab suci yang harus dotolerir dan diberi hidup. Plural yang dimaksud oleh Cak Nur plural itu sebagai sesuatu yang positif, bukan negatif, maka kita memasuki pluralisme sebagai suatu konsep yang didukung al-Qur’an. Cak Nur juga memahami kemejemukan itu tidak ada, tapi sama juga dengan kalam fikih, atau tasawuf, ajaran-ajaran kemajemukan itu tersirat dalam al-Qur’an, seperti firman Allah: ”Kalau Tuhan menghendaki, maka semua orang di muka bumi ini akan beriman.” Allah pernah menegur nabi Muhammad: ” Apakah engkau hendak memaksa manusia menjadi beriman?”. Yang menurutnya ayat tersebut sering dikutip oleh Mubaligh, maksudnya jelas, bahwa dalam agama Islam tidak boleh ada paksaan (la ikraha fi al-diin). Riwayat ini merujuk pada sebuah keluarga Yahudi di Madinah yang sudah masuk Islam mengadu kepada Nabi karena anak-anak mereka tak mau mengikuti jejak mereka. Lalu turun firman tersebut. Cak Nur juga tidak berbalik pendapat dengan adanya pendapat bahwa Ahlu kitab adalah seprti Nasrani, selain agama Nasrani atau lainnya juga merupakan golongan dari ahlu kitab.

Menurut Nurcholish, ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya. Kedua, sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan. Misalnya, ”Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama”, ” Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau ” Setiap agama megekspresikan bagian penting sebuah kebenaran.” 17

Ada makna lain juga dalam mengatakan alasan lain agama yang pluralis, dapat diketahui dari masyarakat Indonesia yang ditandai dengan kebermacaman atau keanekaragaman dalam berbagai ras, suku, bangsa, agama, adat dan perbedaan-perbedaan kedaerahan. Semuanya itu sangat berhubungan dalam arti suatu golongan atau kelompok yang saling menyilang yang kemudian akan mengasilkan suatu kelompok yang saling menyilang pula (cross cutting afiliation).

Pluralisme menurut Ulil Abshar Abdala yang dapat diambil dari tulisannya ”Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Judul tersebut bagian dari pemahamannya yang pluralis, menurutnya, “Islam pertama-tama sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai denyut nadi perkembangan manusia. Islam buka sebuah monumen mati yang dipahat abad ketuju masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah. Saya melihat, kecenderungan untuk “memonumenkan” Islam amat menonjol saat ini”

Dari pendapat Ulil tersebut, bahwa dia menginkinkan Islam tidak hanya ada yang telah tertulis dalam al-Quran dan Hadits. Yang mana Islam hanya akan menjadi statis dalam kehidupan dan perkembangan zaman. Syariat-syariat dan dustur-dusturnya harus mengikuti perkembangan yang selanjutnya dapat dicerna oleh akal fikiran yang slaing beriringan yang kemudian melahirkan ide dan fikiran-fikiran baru. ”Sesungguhnya agama yang diridhai Allah disisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran 19). ”Barang siapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah aka diterima agama itu daripadanya, dan di akhirat termasuk orang-orang rugi.” (Ali Imran 85). Ayat ini secara literal sangat jelas meneguhkan mengenai adanya keselamatan dalam agama-agama. Akan tetapi menurut mereka (JIL) berbalik dengan pada ayat tersebut, karena mereka berpendapat semua agama benar dan masing-masing agama adalah benar. Karena Tuhan semesta alam juga Tuhan semua agama.

C.Ragam Kontroversi dari Pemikiran Islam Liberal

Dari macam kontroversi yang diangkat yaitu menanggapi dari permasalahan dan perbincangan pluralisme agama, seperti yang diangkat pada harian Tempo Sabtu, tulisan tersebut ditulis oleh anggota JIL pada 24 Desember 2005, oleh M.Guntur Romli
Cuplikan tulisan:
”Lebih dari itu, mengucapkan Natal, merupakan pintu menuju ruangan lebih luas” pengakuan terhadap pluralisme agama. Bagi saya, Al-Quran tidak hanya sekadar ikut “merayakan” Natal, tapi juga merayakan “pluralisme agama”—bukan sekadar “pluralitas agama”.
Sebagai muslim, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Natal bagi umat Kristiani. Al-Quran, kitab suci umat Islam lebih unik dan lengkap memberikan ucapan selamat. Jika Hari Natal, hanya merayakan kelahiran Nabi Isa (Jesus Kristus), Al-Quran, memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali. “Dan salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadaku (Isa: Jesus), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku akan meninggal dan pada hari aku dibangkitkan kembali.” (QS Maryam: 33). Itulah, perayaan Natal “plus” versi Al-Quran.

Lebih dari itu, mengucapkan Natal, merupakan pintu menuju ruangan lebih luas: pengakuan terhadap pluralisme agama. Bagi saya, Al-Quran tidak hanya sekadar ikut “merayakan” Natal, tapi juga merayakan “pluralisme agama” (maksudnya pencampur adukan ajaran agama)—bukan sekadar “pluralitas agama” (maksudnya keberagaman agama).
Jawaban dari pejuang Islam 18: ”Takallama fil qur-an bi rakyihi fal yatabawwak maq’adahu minan naar (barang siapa mengatakan dalam menafsiri Alquran hanya dengan pendapatnya, maka siap-siaplah untuk duduk di atas bara api/neraka). Alquran memberi selamat pada tiga momen dalam QS. Maryam: 33 bukan untuk Yesus seperti yang dipahami oleh orang-orang Kristen. Sangat jauh pemahaman umat Islam tentang siapa itu Isa dan pemahaman orang Kristen tentang siapa itu Yesus. Isa bagi umat Islam adalah nabi ke-24, manusia yang juga makan dan minum sebagaimana yang diterangkan dalam QS, Almaidah 75, yang artinya, “Almasaih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul, yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, keduanya biasa memakan makanan, perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan Kami”. Nabi Isa belum meninggal dunia hingga kini, melainkan diangkat oleh Allah ke langit dengan ruh dan jasadnya wamaa qotaluuhu wamaa sholabuuhu (padahal mereka tidak membunuhnya, dan tidak pula menyalibnya, QS. Annisa 157) dan kelak akan turun ke bumi untuk menghancurkan salib-salib yang menjadi identitas orang Kristen, kemudian diwafatkan oleh Allah SWT.”

Kutipan yang kedua diambil dari tulisan Ulil Abshar yang berjudul ”Menyegarkan Kembali Pemahaman Agama”. Berikut akan diambil sedikit cuplikan tulisan Ulil ”Menyegarkan Kembali Pemahaman Agama”.
”Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi ”paket” yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal. Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, subtansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban mausia yang sedang dan teus berubah. Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat. Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai ”masyarakat” atau ”umat” yang terpisah dari golongan lain. Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Menurut saya (Ulil), tidak ada yang disebut ”hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan dan sebagainya. Yang adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashid al-syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam.19
Pada judul tersebut ada pro dan kontra dalam menyikapinya. Yang pertama yang sependapat dengan tulisan tersebut saya dapat diambil dari Benny Susetyo20 yang mengatakan:
Dalam dekonstruksi cara beragama seperti dalam pikiran Ulil, kita bisa melihat betapa bukan dogma, kulit muka, institusi, dan ritus agama yang harus dipentingkan alias diutamakan seperti terjadi dewasa ini. Lebih penting dari itu adalah keharusan umat agar melihat agama sebagai sebentuk relativisme, isi, substansi, dan pengalaman-pengalaman kemanusiaan. Untuk pertarungan kedua visi beragama ini, praktis tidak hanya terjadi di Islam saja seperti disorot Ulil, melainkan juga sembarang agama di muka bumi ini yang mengalami hal serupa. Maka betul yang dikataan Ulil bahwa persoalan besar yang dihadapi agama-agama di era globalisasi ini adalah di sekitar cara Cuma umatnya menafsir teks yang ia hadapi. Jadi kegundahan Ulil dalam pemikirannya itu merupakan keprihatinan semua umat beragama yang merindukan rasa damai.

Dan berikut tanggapan kontra dari Husni Muadz21:
Meliberalkan Islam adalah satu keinginan Ulil dan kelompoknya. Berhasil tidaknya nanti akan sangat tergantung pada ada tidaknya kriteria keberterimaan yang ia bangun. Yang pertama yang harus ia lakukan adalah membagun model teoritik tentang Islam, yang berisi s system of principles, dengan beberapa parameter tertentu. Bila dalam benak Ulil Islam tidak memiliki model sistem sosial yang bisa di-edialkan, karena, katakanlah ia beranggapan seperti F A Hayek tentang the grown social order, sehingga yang perlu adalah perlindungan tertentu akan kebebasan individual. Langkah berikutnya adalah menginventariskan semua data yang berkaitan dengan nilai-nilai dan konsep Islam yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai data yang akan digunakan sebagai ”the empirical testing ground”.

Dari dua komentar tersebut dapat diambil suatu pendapat baru, pada komentator pro, lebih mengedepankan rasio dan kemudian dikembalikan pada kehidupan dan problematika kehidupan saat ini. Ada juga kekurangan dalam meninjau ulang dibalik ide-ide yang keluarkan oleh Ulil. Yang selanjutnya pada komentator yang kontra, yaitu Husni Muadz yang lebih menekankan akan adanya peninjauan ulang dengan data-data yang lebih empirik, pada kata-kata beliau sebelumnya dia mengangkat tokoh Chomsky, yang mana dia mengambil sisi baik dari Chomsky, bahwa dalam mengutarakan sebuah opini yang empiris seharusnya diperlukan data-data yang validitasnya dapat diterima oleh kalangan luas. Menurutnya juga semua konsep, terminologi dan exposisinya sangat teknis, karena memang dihajatkan untuk pembaca yang memilki spesialis di bidang itu. Sekali lagi dari pendapat Husni, Ulil bukanlah Umar yang mampu memenangkan argumentasi; ia bahkan belum mulai berargumentasi, ia baru hanya mengatakan ayat ini dan ayat itu tidak berlaku bagi Ulil. Dan itu hanya urusan individu dengan Tuhan.

KESIMPULAN

Yang khas dan kontradiktif dari liberalisme ialah tetap dihalalkannya keanekaragaman pendapat tentang sebuah pendapat, kendati dibangun di atas pembedaan antara pengetahuan dan opini, dan pemisahan ruang-terap dari keduanya. Ada kalanya, beberapa pendapat muncul menentukan politik, budaya, kekuasaan dan kebenaran sosial.22. Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah. Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dua Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain dengan agama yang kita peluk.

Pada dasarnya mereka tidak setuju bila ada pendapat yang mengatakan tentang kebenaran yang mutlak pada suatu agama, atau ada pengakuan yang sangat benar pada agama itu sendiri. Mereka lebih menyikapi semua agama itu adalah milik Allah, dan Allah Tuhan segala agama. Da kata lain, mereka tidak bisa menerima (keberatan) dan menjalankan syari’at-syari’at Islam sebagaimana mestinya.

Islam dan Liberal adalah dua istilah yang antagonis, saling berhadap-hadapan tidak mungkin bisa bertemu. Namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang “pas” dengan orang-orangnya atau pikiran-pikiran dan agendanya.

DAFTAR PUSTAKA

Assyaukanie, Luthfi. Wajah Liberal Islam di Indonesia, JIL Teater Utan Kayu, Jakarta, 2002.
Rasyid,, Daud, Islam Dalam Berbagai Dimensi, Gema Insani Press. Jakarta, 1998.
Husaini, Adian, Islam Liberal (Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya), Gema Insani Press, Jakarta, 2002.
Jamil, Muhsin, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar Pergulatan Islam Liberal Literal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan (Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta Selatan, 1995.
Abshar Abdalla, Ulil dkk, Islam Liberal dan Fundamental, Elsaq Press, Yogyakarta, 2005.
A’la, Abd, Melampaui Dialog Agama, Kompas, Jakarta, 2002.
Qodir, Zuly, Islam Liberal (Paradigma Baru Wacana Aksi Islam Indonesia), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
– Husaini, Adian, Islam Liberal, Pluralisme Agama&Diabolisme Intelektual, Surabaya: Risalah Gusti, 2005.
– Binder, Leonar, Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
http://fuui: wordpress.com/. Jum’at 13 nopember 2009, 9:40
http://id.wikipedia.org/wiki/berkas:jaringan_islam_liberal.gif. 31/10/2009 11:14
http://islamlib.com/id/. Wacana Islam Liberal di Timur Tengah. (Redaksi JIL Luthfi Asyaukani). 15/12/2009. 16:59.
http://forum.upi.edu/v3/index.php?Abu Shofiyyah al-Atsary/Sekali Lagi, Tentang Islam Liberal. 09/12/2009. 09:00.

Pendekatan Antropologis Dalam Kajian Islam

Posted in Uncategorized on Desember 16, 2009 by mghazakusairi

Oleh : Jamhari Ma’ruf

Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah “fenomena” atau sebuah kerangka “desconstruction theory”, mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya “mercu suar” untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya “pengetahuan lokal” di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting.
Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai “international morality”, suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai “tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka.” Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai “international morality” berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.
Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah “struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral.” Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien”, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.
Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture
Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.
Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta– tetapi juga karena perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L. Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.
Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama, perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut.
Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.
Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitas religious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.
Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan katakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.
Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai “menjadi Melayu.” Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya. Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.
Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni, sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan. Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah yang menyatukan Islam.
Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsep di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan, tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal. Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti bagi dunia Muslim lainnya.
Berikut ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan budaya.
Islam popular dan Islam formal
Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta mempunyai “office” (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama. Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah yang dianggap sebagai suara resmi, “offical,” gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah. Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.
Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal, dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.
Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka ini untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang lain-lainnya.
Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal. Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama tertentu.
Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya Saint of The Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari’ah. Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elit popular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat.
Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu: Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban) dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam (pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya. Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural area yang mempunyai social cohesion lebih besar.
Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses perjalanan sejarah Islam. Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya, tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, “Religion as a Cultural System,” dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
“A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.”
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.
Penutup dan Agenda Kajian Antropologi dalam Islam
Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita menjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu.
Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.***

Jamhari Ma’ruf 

Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.

Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.

Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.

Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.

Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.

Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.

Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.

Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.

Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.

Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.

Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia.

Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.

Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah “fenomena” atau sebuah kerangka “desconstruction theory”, mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya “mercu suar” untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya “pengetahuan lokal” di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting.

Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai “international morality”, suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.

Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).

Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai “tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka.” Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.

Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai “international morality” berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.

Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial

Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.

Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.

Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.

Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.

Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.

Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.

Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah “struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral.” Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.

Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.

Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.

Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.

Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.

Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.

Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.

Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien”, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.

Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.

Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture

Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.

Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta– tetapi juga karena perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L. Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.

Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama, perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut.

Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.

Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitas religious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.

Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan katakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.

Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai “menjadi Melayu.” Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya. Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.

Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni, sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan. Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah yang menyatukan Islam.

Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsep di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan, tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal. Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti bagi dunia Muslim lainnya.

Berikut ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan budaya.

Islam popular dan Islam formal

Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta mempunyai “office” (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama. Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah yang dianggap sebagai suara resmi, “offical,” gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah. Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.

Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal, dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.

Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka ini untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang lain-lainnya.

Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal. Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama tertentu.

Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya Saint of The Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari’ah. Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elit popular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat.

Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu: Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban) dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam (pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya. Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural area yang mempunyai social cohesion lebih besar.

Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses perjalanan sejarah Islam. Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya, tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.

Agama Sebagai Sistem Budaya

Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, “Religion as a Cultural System,” dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:

“A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.”

Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.

Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.

Penutup dan Agenda Kajian Antropologi dalam Islam

Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.

Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita menjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu.

Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.

Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.***
PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Jamhari Ma’ruf 

Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.

Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.

Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.

Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.

Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.

Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.

Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.

Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.

Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.

Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.

Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia.

Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.

Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah “fenomena” atau sebuah kerangka “desconstruction theory”, mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya “mercu suar” untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya “pengetahuan lokal” di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting.

Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai “international morality”, suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.

Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).

Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai “tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka.” Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.

Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai “international morality” berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.

Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial

Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.