KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN IMTAQ

Posted in Uncategorized on Mei 14, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

(Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang, Jurusan Manajemen Pendidikan Islam)

Keberadaan seorang pemimpin dalam organisasi sangat dibutuhkan untuk membawa organisasi kepada tujuan yang telah ditetapkan. Berbagai gaya kepemimpinan akan mewarnai perilaku seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Bagaimanapun gaya kepemimpinan seseorang tentunya akan diarahkan untuk kepentingan bersama yaitu kepentingan anggota dan organisasi. Dalam sebuah lembaga pendidikan, salah satu elemen yang berperan penting sebagai agent of change adalah pemimpin yang memimpin lembaga pendidikan tersebut. Hal ini karena pemimpinlah yang menjadi “pengemudi” ke mana lembaga pendidikan yang pimpinnya itu akan dibawa. Peran key position kemajuan dan perkembangan tidak keliru dialamatkan kepada kepemimpinan kepala sekolah.

Kepemimpinan kepala sekolah sebagai agen perubahan dalam sekolah mempunyai peran aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah maka kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu mempunyai leadership yang baik. Kepemimpinan yang baik adalah kepala sekolah yang mampu dan dapat mengelolah sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dan sumber daya manusia hendaknya mampu menciptakan iklim organisasi yang baik agar semua komponen sekolah dapat memerankan diri secara bersama untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi.

Kepemimpinan merupakan prilaku mempengaruhi individu atau kelompok untuk melakukan sesuatu dalam rangka tercapainya tujuan organisasi. Secara lebih sederhana dibedakan antara kepemimpinan dan manajemen, yaitu pemimpin mengerjakan suatu yang benar (people who do think right), sedangkan manajer mengerjakan suatu dengan benar (people do right think). Landasan inilah yang menjadi acuan mendasar untuk melihat peran pemimpin dalam suatu organisasi. Perbedaan ini memberikan gambaran bahwa pemimpin biasanya terkait dengan tingkat kebijakan puncak atau pengambil keputusan puncak yang bersifat menyeluruh dalam organisasi, sedangkan menejer merupakan pengambil keputusan tingkat menengah.[1] Sehingga kepemimpinan kepala sekolah juga dituntut untuk mampu menciptakan iklim organisasi yang baik agar semua komponen sekolah dapat memerankan diri secara bersama untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi sekolah, yaitu membentuk generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Dalam abad modern ini, berbagai penjelasan dalam organisasi memerlukan pemimpin yang berorientasikan pada perubahan. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang mampu membawa organisasi sesuai dengan asas-asas manajemen modern[2], sekaligus mampu mengembangkan lingkungan organisasi yang berawawas iman dan taqwa dalam kegiatan sehari-hari. Suatu kenyataan bahwa kemerosotan akhlak akhir-akhir ini tidak hanya menimpa kalangan orang dewasa tetapi telah merembet pada kalangan pelajar tunas-tunas muda. Orang tua, pendidik, dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak mengeluh terhadap perilaku mereka yang tidak baik. Perilaku mereka yang nakal, keras kapala, mabuk-mabukan, tawuran, pergaulan bebas, pesta obat-obatan terlarang, bergaya hidup mewah dan pendek kata perilaku mereka tidak mencerminkan pelajar yang berpendidikan. Disinilah peran kepemimpinan kepala sekolah dituntut untuk mampu membimbing bawahannya yaitu peserta didik. Peran kepemimpinan kepala sekolah sangat berperanan penting dalam mengembangan lingkungan berwawasan iman dan taqwa pada organisasi yang dipimpinnya.

Dalam memimpin suatu organisasi sekolah, kepala sekolah dapat menekankan salah satu bentuk atau model kepemimpinan yang ada. Model atau gaya kepemimpinan mana yang paling sesuai masih menjadi pertanyaan. Keberadaan sekolah sebagai organisasi pendidikan akan berpengaruh terhadap keefektifan model kepemimpinan kepala sekolah yang diterapkan. Karena sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedangkan bersifat unik menunjukkan bahwa sekolah  sebagai organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lain. Oleh karena itu, sekolah yang sifatnya kompleks dan unik itulah, maka sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi, sehingga keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peran kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.[3]

Pada umumnya seorang yang diangkat menjadi pemimpin didasarkan atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan orang-orang yang dipimpinnya, dimana kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya adalah sifat-sifat yang dimiliki berkaitan dengan kepemimpinannya. Kelebihan sifat ini merupakan syarat utama menjadi seorang pemimpin yang sukses. Berkaitan dengan masalah sifat-sifat pemimpin sebagai syarat utama kepemimpinan, sebagaimana dinyatakan oleh Slikbour bahwa sifat-sifat kepemimpinan itu meliputi: (a) sifat-sifat serta kemampuan dalam bidang intelektual, (b) sifat-sifat yang berkaitan dengan watak, dan (c) sifat-sifat yang berhubungan dengan tugasnya sebagai pemimpin. Sedangkan Roeslan Abd. Ghoni menyatakan bahwa, kelebihan seorang pemimpin meliputi  3 (tiga) hal, yaitu: (a) kelebihan menggunakan pikiran, (b) kelebihan dalam rohaniah dan (c) kelebihan dalam badaniah.[4]

Kepemimpinan adalah aktor dari sebuah rencana yang kemudian diaplikasikan dalam suatu organisasi, dimana pemimpin dan kepemimpinan yang baik itu dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Sebagai pengatur, pengarah aktivitas organisasi untuk mencapai suatu tujuan.
  2. Penanggung jawab dan pembuat kebijakan-kebijakan organisasi.
  3. Pemersatu dan motivasi para bawahan dalam melaksanakan aktivitas organisasi.
  4. Pelopor dalam menjalankan aktivitas manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta pengelolaan sumber daya manusia yang ada.
  5. Sebagai pelopor dalam memajukan organisasi dan lain-lain.[5]

Sebagaimana telah dikatakan oleh Nawawi, bahwa setiap dan semua organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang pemimpin yang harus menjalankan kepemimpinan (leadership) dan manajemen (management) bagi keseluruhan organisasi sebagai satu kesatuan.[6] Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. Semakin banyak jumlah sumber kekuasaan yang tersedia bagi pemimpin, maka makin besar potensi kepemimpinan yang efektif.[7] Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke bumi, ia ditugasi sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:

øŒÎ)ur tA$s% š•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ߉šøÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡o„ur uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ωôJpt¿2 â¨Ïd‰s)çRur y7s9 ( tA$s% þ’ÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès?

Artianya:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)[8]

Namun demikian, walaupun dari definisi kepemimpinan tersebut bertitik tolak dari pemberian pengaruh kepada orang lain untuk melaksanakan apa yang dikehendaki pemimpin untuk menuju suatu tujuan secara efektif dan efisien, namun tenyata proses mempengaruhinya dilakukan secara berbeda-beda. Proses pelaksanaan kegiatan mempengaruhi yang berbeda inilah yang kemudian menghasilkan tingkatan-tingkatan dalam kepemimpinan.[9] Dalam ajaran Islam sendiri banyak ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW baik secara lagsung maupun tidak langsung yang menjelaskan pengertian dari kepemimpinan. Kepemimpinan juga dapat dikatakan penting apabila mampu memanfaatkan dan mengelola potensi setiap sumber daya yang ada. Seorang pemimpin dituntut harus mampu membimbing anngotanya kearah yang baik. Diantaranya sebagaimana  telah dijelaskan dalam firman Allah SWT yang berbunyi:

ô‰s)s9ur $uZ÷Wyèt/ ’Îû Èe@à2 7p¨Bé& »wqߙ§‘ Âcr& (#r߉ç6ôã$# ©!$# (#qç7Ï^tGô_$#ur |Nqäó»©Ü9$# ( Nßg÷YÏJsù ô`¨B “y‰yd ª!$# Nßg÷YÏBur ïƨB ôM¤)ym Ïmø‹n=tã ä’s#»n=žÒ9$# 4 (#r玍šsù ’Îû ÇÚö‘F{$# (#rãÝàR$$sù y#ø‹x. šc%x. èpt7É)»t㠚úüÎ/Éj‹s3ßJø9$#

Artinya:

Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyeruhkan), ‘sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan di antara mereka ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul) (QS. an-Nahl: 36)[10]

Dalam surat An-Nahl ayat 36 tersebut, dijelaskan bahwa pada dasarnya para Rasul diutus kepada manusia sebenarnya hanyalah untuk memimpin umat dan mengelurkannya dari kegelapan menuju kepada aqidah yang lurus yaitu menyembah hanya kepada Allah SWT. Dalam menjalankan organisasi sekolah seorang kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu mengemudikan dan menjalankan organisasinya. Dalam artian bahwa seorang pemimpin harus mempu membawa perubahan, karena perubahan merupakan tujuan pokok dari kepemimpinan. Dalam hal ini, pada hakikatnya seorang pemimpin adalah harus bertanggung jawab terhadap apa yang sedang dipimpinnya, dan kepemimpinannya akan diminta pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT.

Kepemimpinan kepala sekolah dalam pengembangan imtaq di sekolah sangat penting sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Sesuai dengan UU NO. 20 Tahum 2003 pasal 3 yang berbunyi, “ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar manjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. ”Dalam pembukaan UUD 1945 dalam menyebutkan bahwa konsep mencerdaskan kehidupan bangsa harus dimaknai secara luas, yakni meliputi (a) kecerdasan intelektual, (b) kecerdasan emosional, dan (c) kecerdasan spiritual.[11] Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidik hendaknya tidak hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan dan keterampilan semata, tetapi harus diimbangi dengan membina kecerdasan emosional dan keagamaan. Dengan kata lain memberikan nilai-nilai agama atau imtaq dalam ilmu pengetahuan atau memberikan moralitas agama kepada ilmu.

Selaras dengan hal tersebut, dikatakan oleh Ahmad Djazuli bahwa dalam tujuan pendidkan nasional, pembinaan imtaq merupakan inti tujuan pendidikan nasional. Hal ini berarti bahwa pembinaan imtaq bukan hanya tugas dari bidang studi pendidikan agama saja melainkan tugas pendidikan secara keseluruhan sebagai suatu sistem. Artinya, sistem pendidikan nasional dan seluruh upaya pendidikan sebagai satu sistem yang terpadu harus secara sistematis diarahkan untuk menghasilkan manusia yang utuh, sebagai ciri pokoknya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[12] Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik, salah satunya adalah potensi agama atau fitrah agama yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal inilah yang menjadi tanggung jawab kepala sekolah sebagai pemimpin dalam membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk selalu berada dalam kebaikan. Tanggung jawab kepala sekolah sebagai pemimpin, sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya yang berbunyi:

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sãƒ

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia dan batu-batu; Di atasnya malaikat-malaikat yang kasar-kasar, keras-keras, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. Al-Thariim: 6)[13]

Dengan demikian, segala perubahan dan pengembangan lingkungan berwawasan imtaq pada suatu lembaga pendidikan bukanlah suatu yang kebetulan namun memiliki sebab akibat tersendiri. Berdasarkan pemikiran bahwa sekolah pada dasarnya adalah sebuah organisasi, maka pengembangan lingkungan berwawasan imtaq tidak lepas dari unsur baik internal maupun eksternal. Ada tiga hal yang mendorong terjadinya perubahan dalam sebuah organisasi yaitu faktor internal, faktor eksternal dan change agent (pemimpin), namun bagaimanapun besarnya potensi ataupun rangsangan baik internal maupun eksternal tidak akan berimplikasi positif tanpa diimbangi oleh kepemimpinan ideal. Ini berarti, seorang pemimpin berperan penting dalam mengembangkan lingkungan yang berwawasan imtaq. Sehingga pemimpin juga dituntut untuk mampu menciptakan iklim organisasi yang baik agar semua komponen sekolah dapat memerankan diri secara bersama untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi sekolah, yaitu membentuk generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok dalam mencapai tujuan bersama (shared goal). Sedangkan kepemimpinan yang dimaksud dalam lembaga pendidikan adalah kepemimpinan pendidikan (educational leadership). Kepemimpinan pendidikan adalah proses mempengaruhi personel yang mendukung proses belajar mengajar dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikan.[14]

Keimanan dan ketaqwaan siswa merupakan core tujuan pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, lembaga pendidikan sekolah yang efektif dinilai merupakan salah satu wahana yang sangat efektif untuk mencapai tujuan pendidikan, dengan alasan karena melalui proses pendidikan di sekolah peserta didik akan memperoleh bukan saja aspek pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga sikap. Dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan siswa melalui lembaga pendidikan sekolah, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengembangkan lima strategi, yakni (1) optimalisasi pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, (2) integrasi Iptek dan Imtaq dalam proses pembelajaran, (3) pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler berwawasan Imtaq, (4) penciptaan situasi yang kondusif dalam kehidupan sosial di sekolah, dan (5) melaksanakan kerjasama antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat.[15]

Dengan demikian, kepemimpinan kepala sekolah memiliki peran yang besar untuk mengatasi krisi moral dan akhlak yang melanda bangsa Indonesia saat ini terutama krisis moral dan akhlak yang melanda peserta didik. Dalam hal ini, kepimpinan kepala sekolah untuk mengembangkan lingkungan berwawasan iman dan taqwa kepada Allah SWT sangat dibutuhkan. Latar belakang pendidikan kepala sekolah dalam kepemimpinnya sangat mempengaruhi terhadap pengembangan lingkungan berwawasan iman dan taqwa tersebut. Disinilah ketertarikan peneliti terhadap judul tesis tersebut yaitu Model Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Mengembangkan Lingkungan Berwawasan Iman dan Taqwa di SMA Negeri 1 Malang. Kenakalan peserta didik sekarang ini, sangat memperhatinkan, ini mengindikasikan adanya kegagalan kepemimpinan kepala sekolah dalam memimpin organisasi untuk menciptakan peserta didik imam dan taqwa kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, pengembangan iman dan taqwa siswa merupakan tanggung jawab kepala sekolah sebagai pemimpin, tidak hanya dibebankan kepada guru-guru pendidikan agama Islam. Pengembangan imtaq selama ini hanya dibebankan kepada para guru-guru pendidikan agama Islam yanga lebih bersifat mentransfer ilmu pengetahuan tentang ilmu agama yang hanya mengutamakan pencapaian materi ajar secara kuantitatif dari pada menanamkan nilai agama kepada siswa. Hal ini sebagaimana telah dikatakan oleh Mudjia Rahardjo: Jika kita mau jujur, pendidikan agama yang terjadi saat ini sesungguhnya tidak lebih dari upaya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tentang ilmu agama kepada anak didik dari pada upaya mendidik anak dalam arti yang luas melalui metode pembelajaran seperti yang terjadi dalam bidang studi ilmu umum. Hal ini bisa dilihat dengan jelas pada aktivitas belajar mengajar di kelas, dimana guru lebih menekankan tercapainya meteri ajar secara kuantitatif dari pada menanamkan nilai agama kepada anak sebagai kerangka spritual dan pedoman moral untuk menatap masa depan.[16]

Pengembangan iman dan taqwa pada peserta didik di lingkungan sekolah selama ini hanya dibebankan kepada guru, sehingga peran kepala sekolah sebagai pemimpin tidak berjalan dengan baik. Dalam mengembangkan lingkungan berwawasan iman dan taqwa di sekolah kepada para peserta didik tidak hanya dibebankan kepada para guru-guru agama saja, tetapi juga tanggung jawab kepala sekolah sebagai pemimpin.


[1] Rasmianto, Kepemimpinan Kepala Sekolah Berwawasan Visioner-Transformatif Dalam Otonomi Pendidikan, Malang: Jurnal el-Harakah, Wacana Kependidikan, Keagamaan dan Kebudayaan., Fakultas Tarbiyah UIN-Malang Edisi 59, 2003, hlm. 15

[2] Veithzal Rivai, Arviyan Arifin, Islamic Leadership: Membangun SuperLeadership Melalui Keceerdasan Spritual (Jakarta: Bumi Askara, 2009), hlm. 7

[3] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepela Sekolah (Tinjauan Teoritik dan Permasalahan) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 81

[4] Ach. Mohyi, Teori & Prilaku Organisasi (Malang: UMM-Press Malang, 1999), hlm. 180-181

[5] EK. Imam Munawir, Asas-Asas Kepemimpinan Dalam Islam (Surabaya, tt., Usaha Nasional), hlm 176

[6]  Hadari Nawawi, Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), hlm. 18

[7] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 88

[8] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir: Juz 1 Al-Fatihah s.d. Al-Baqarah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), hlm. 358

[9] Muhaimin, Suti’ah, Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya Dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 30

[10] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi:Juz 14 (Semarang: CV. Toha Putra, 1992), hlm. 140-141

[11]  Himpunan Undang-Undang Republik Indonesia: Guru dan Dosen, SISDIKNAS, Standar Nasional Pendidikan (Surabaya: Wacana Intelektual, 2009), hlm. 372

[12] Achmad Djazuli, dkk, Peningkatan Wawasan Keagaamaan (Islam) Guru Bukan Pendidikan Agama SLTP dan SLTA (Jakarta:DIKNAS, 2005), hlm. 2

[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an) (Jakarta: Lentera Hati, volume 14, 2002), hlm. 326

[14] Wahjosimudjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik dan Pemasalahannya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 27.

[15] http://pemberdayaan-sekolah-berwawasan-imtaq.html, diakses pada tanggal 7 Maret 2011

[16] Mudjia Rahardjo, Agama dan Moralitas: Reaktualisasi Pendidikan Agama Di Masa Transisi (Dalam Quo Vadis Pendidikan Islam, Pembaca Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan) (Malang: UIN Press, 2006), hlm. 58

PROFESIONALISME GURU PENDIDIKAN

Posted in Uncategorized on Mei 14, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

(Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang)

Pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan pendidikan manusia sebagai makhluk pengembang tugas kekholifahan dibumi akan menjadi dinamis dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan merupakan instrumen atau alat yang penting untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia yaitu sebagai makhluk yang harus dididik, makhluk yang dapat dididik dan makhluk yang dapat mendidik. Oleh sebab itu, harus disesuaikan dengan tuntunan perkembangan zaman. Karena di antara salah satu problem yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini adalah problem yang menyangkut tentang pendidikan yaitu kurang relevansinya antara dunia pendidikan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi khususnya dan kebutuhan pembangunan pada umumnya. Dalam setiap kurikulum mencerminkan keinginan, cita-cita, tuntunan dan kebutuhan masyarakat  Sekolah memang didirikan oleh dan untuk masyarakat. Sudah sewajarnya pendidikan harus memperhatikan dan merespon terhadap suara-suara masyarakat Pendidikan tidak dapat tiada harus memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari desakan dan tekanan dari kekuatan-kekuatan sosial politik–ekonomi yang dominan pada saat tertentu. Kesulitan akan dihadapi bila kelompok-kelompok sosial mengajukan keinginan yang bertentangan berhubungan dengan kepentingan khusus masing-masing. Anak tidak hidup sendiri  terisolasi dari manusia lainnya ia selalu hidup  dalam suatu masyarakat. Disitu harus memenuhi tugas-tugas yang harus dilakukannya dengan penuh tanggung jawab, baik sebagai anak  maupun sebagai orang dewasa kelak. Ia akan banyak menerima jasa dari masyarakat dan ia sebaliknya mengembangkan baktinya bagi kemajuan masyarakat. Tuntunan masyarakat tidak dapat diabaikannya.

Dengan pendidikan diharapkan mampu mencetak kader-kader pembangunan yang cukup terampil kreatif serta penuh inovatif dalam bidangnya masing-masing akan tetapi kenyataannya lain, bahwa sekarang produktifitas pendidikan dirasakan masih belum mampu mengimbangi kemajuan yang telah dicapai oleh Ilmu Pengetahuan dan teknologi. Melalui pendidikan diharapkan manusia menjadi makhluk yang optimis dalam menetapkan masa depan. Bahwa pendidikan akan membawa kemajuan yang berarti yakni membentuk manusia berkualitas  tinggi dan mandiri.

Profesional berhubungan dengan profil guru, walaupun potret guru yang ideal memang sulit didapat namun kita boleh menerka profilnya. Guru idaman merupakan produk dari keseimbangan antara penguasaan aspek  keguruan dan disiplin ilmu. Keduanya tidak perlu dipetentangkan melainkan bagaimana guru tertempa kepribadiannya dan terasah aspek penguasaan materi. Kepribadian guru yang utuh dan berkualitas sangat penting karena dari sinilah muncul tanggung jawab profesional sekaligus menjadi inti kekuatan profesional dan kesiapan untuk selalu mengembangkan diri.Tugas guru adalah merangsang potensi  peserta didik  dan mengajarnya supaya belajar.

Kualitas pendidikan tidak terlepas dari kualitas proses belajar mengajar. Sebagai relevansinya  dituntut adanya pengajaran yang efektif karena gurulah sebagai pelaksana utama dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh siswa, sarana dan faktor-faktor instrumental lainnya. Tetapi siswa itu pada akhirnya tergantung pada mutu pengajaran dan mutu pengajaran tergantung pada mutu guru.

Tinggi rendahnya mutu pendidikan banyak dipengaruhi oleh kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Untuk itu peningkatan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran disekolah menjadi tanggung jawab kepala sekolah sebagai supervisor, pembina dan atasan langsung. Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa masalah profesi  akan selalu ada  dan terus berlanjut seiring dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga bimbingan dan pembinaan yang profesional dari kepala sekolah selalu dibutuhkan guru secara berkesinambungan. Pembinaan tersebut disamping itu untuk meningkatkan semangat kerja guru, juga diharapkan dapat memberi dampak positif terhadap munculnya sikap profesional guru.

Sebenarnya kita akui pada masa lalu (masa kini) profesi guru kurang memberikan rasa bangga diri. Bahkan ada guru yang malu disebut sebagai guru. Rasa inferior terhadap potensi lain masih  melekat dihati banyak guru. Masih jarang kita  mendengar dengan suara lantang guru mengatakan “Inilah aku”. Kurangnya rasa bangga itu akan mempengaruhi motivasi kerja dan citra  masyarakat terhadap  profesi guru. Banyak guru secara sadar atau tidak sadar mempromosikan kurang bangganya kepada masyarakat. Ungkapan “cukuplah saya sebagai guru” sering masih mendengar dari mulut guru. Ungkapan ini lalu diterjemahkan sebagai profesi  yang kurang menjanjikan masa depan yang kurang cerah. Tantangan-tantangan yang harus disambut, jika kita ingin mempromosikan jabatan guru. Dengan perkataan lain, hakikat keprofesionalan jabatan guru tidak akan terwujud  hanya dengan mengeluarkan pernyataan bahwa  guru adalah jabatan / pekerjaan profesional, meskipun pernyataan itu dikeluarkan dalam bentuk peraturan resmi. Sebaliknya, status profesional hanya dapat diraih melalui perjuangan yang berat dan cukup panjang.

Dalam meningkatkan mutu pendidikan harus tersedianya pendidikan yang memiliki tenaga ahli atau guru tenaga pengajar  yang profesional. Dengan kata lain agar pendidikan dapat mempunyai nilai guna dan hasil guna lebih dan nantinya diharapkan mampu menjawab problem diatas, maka guru masih membutuhkan bimbingan dan arahan dari Kepala Sekolah sebagai pemimpin dan penanggung jawab. Dalam suatu kekompok lembaga  organisasi sangat diperlukan adanya seorang pemimpin yang dianggap  mampu mengatur, mengayomi dan bertanggung jawab terhadap kelompok.

MEDIA PEMBELAJARAN

Posted in Uncategorized on Mei 14, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

(Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang)

Upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas pendidikan seakan-akan tidak pernah berhenti. Beragam program-program inovatif yang telah, sedang dan akan dilaksanakan dalam hal pendidikan, termasuk dalam hal restrukturisasi model-model pembelajaran dan pemilihan metode pembelajaran dalam proses belajar mengajar.

Dan perlu disadari bersama bahwa dari sekian banyak generasi penerus yang ada di masyarakat pada umumnya ada sebagian kecil dari mereka yang kurang beruntung, karena mengalami atau memiliki kelainan

baik dari segi fisik, mental, perilaku dan ataupun campuran. Oleh karena itu, dalam kegiatan proses belajar mengajar diperlukan media-media pembelajaran yang berguna untuk membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap peserta didik.

Autisme atau juga disebut anak dengan kebutuhan khusus merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi. Anak autisme mempunyai masalah atau gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi. Sehingga anak autisme atau anak dengan kebutuhan khusus ini juga berhak mendapatkan suatu layanan pendidikan yang layak dengan anak-anak normal lainnya.

Pemberian layanan pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 32 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan atau memiliki potensi dan bakat yang istimewa”.

Berdasarkan aturan perundang-undangan tersebut, maka anak yang menyandang autisme atau anak dengan kebutuhan khusus berhak mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak sesuai dengan kemampuan dan juga potensi yang ada dalam diri anak. Pada dasarnya semua yang ada dalam kehidupan di dunia tidak dapat dengan mudah dicapai apalagi anak yang memagalami autisme yaitu anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya.

Menurut pendapatnya H. Asnawir dan M. Basyiruddin Usman: “Media pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah semua aktifitas yang ada hubungannya dengan materi pendidikan agama, baik yang berupa alat yang dapat diragakan maupun teknik atau metode yang secara efektif dapat digunakan oleh pendidik dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam”. Begitu pentingnya media pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam proses belajar mengajar peserta didik khususnya pada anak autisme, membuat para pendidik harus memiliki kemampuan dan kecakapan yang lebih memadai, juga diperlukan kinerja dan sikap yang baru, peralatan yang lebih lengkap dan adminitrasi lebih teratur dalam mendidik atau memberikan pelatihan-pelatihan khusus bagi anak autisme tersebut.

Menurut Y. Handojo, pada dasarnya anak autisme merupakan anak “Special Needs” atau anak dengan kebutuhan khusus, termasuk anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya yang terdiri dari wicara dan okupasi yang tidak berkembang seperti pada anak yang normal. Kedua jenis perilaku ini sangat penting untuk komunikasi dan sosialisasiny, apabila hambatan ini tidak diatasi dengan cepat dan tepat, maka proses dalam belajar anak-anak tersebut juga akan terhambat. Oleh sebab itu, sangat penting upaya-upaya yang harus dilakukan oleh seorang pendidik atau orang tua untuk melakukan deteksi sedini mungkin bagi anak-anak yang mengalami autisme ini. Salah satunya dengan mendidik anak yang mengalami autisme dengan menggunakan media pembelajaran.

Hampir semua media pembelajaran sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar khususnya pada anak autisme atau anak yang memiliki kelainan dalam hal perilakunya. Menurut  Y. Handojo perilaku adalah semua tindakan atau tingkah laku seorang individu, baik kecil maupun besar, yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan oleh orang lain atau diri sendiri. Jadi perilaku ini meliputi bicara atau suara, gerakan-gerakan atau aksi-aksi baik berupa gerakan yang beraturan atau tidak beraturan, tertuju atau tidak tertuju, sengaja atau tidak sengaja, berguna atau tidak berguna yang kesemuanya itu sebagai bentuk dari perilaku yang didahului oleh suatu penyebab baik secara eksternal maupun internal. Setiap perilaku itu juga akan memberikan suatu akibat, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, baik bagi individu peserta didik itu sendiri, orang lain maupun pada lingkungannya.

KEBUTUHAN MANUSIA AKAN AGAMA

Posted in Uncategorized on Mei 14, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kuasairi

(Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang, Jurusan Manajemen Pendidikan Islam)

Manusia memiliki berbagai potensi yang hebat dan unik, baik lahir maupun batin, bahkan pada setiap anggota tubuhnya. Sebagian ahli menyatakan bahwa manusia memiliki potensi-potensi: IQ (Intelligent Quotient), EQ (Emotional Quotient), CQ (Creativity Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient). Gardner menemukan multiple-intelligence, yaitu: Kecerdasan visual dan Spasial; Kecerdasan Musik; Kecerdasan Linguistik; Kecerdasan Logik/Matematik; Kecerdasan Kinestetik; Kecerdasan Interpersonal; Kecerdasan Intrapersonal; dan Naturalis. Bahkan ditambah dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Sebagai potensi, maka ia masih merupakan kemampuan dasar atau daya yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan melalui aktivitas belajar secara berkelanjutan. Karena itu,  potensi tersebut perlu diaktualkan, dikembangkan dan diberdayakan secara optimal untuk mencapai kemajuan peradaban manusia. Pentingnya pengembangan dan pembedayaan potensi-potensi tersebut dijelaskan dalam Q.S. An-Nahl: 78 , yang maksudnya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan-penglihatan dan aneka hati, agar kamu bersyukur”.

Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa pada mulanya manusia tidak memiliki pengetahuan atau tidak mengetahui sesuatu pun yang ada di sekelilingnya. Namun demikian, Allah menjadikan baginya pendengaran, penglihatan-penglihatan dan aneka hati sebagai bekal dan alat-alat potensial untuk meraih pengetahuan agar ia bersyukur, yakni dengan menggunakan dan memberdayakan alat-alat tersebut sesuai dengan tujuan Allah menganugerahkannya kepada manusia.

Alat-alat potensial yang diberikan oleh Allah kepada manusia meliputi as-sam’ (pendengaran), al-abshar (penglihatan-penglihatan) sebagai bentuk jamak dari kata al-bashar, dan al-af’idah (aneka hati) sebagai bentuk jamak dari kata al-fu’ad. Penyebutan indera-indera secara berurutan pada ayat di atas mencerminkan tahap perkembangan fungsi indera-indera tersebut. Didahulukannya kata as-sam’ atas al-abshar, merupakan perurutan yang sungguh tepat, karena menurut ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa indera pendengaran berfungsi mendahului indera penglihatan. Indera pendengaran mulai tumbuh pada diri anak bayi pada pekan-pekan pertama, sedangkan indera penglihatan baru bermula pada bulan ketiga dan menjadi sempurna menginjak bulan keenam. Adapun al-af’idah atau kemampuan akal dan mata hati yang berfungsi membedakan yang benar dan salah atau yang baik dan buruk, maka alat ini berfungsi jauh sesudah kedua indera (pendengaran dan penglihatan) tersebut.

Di dalam ayat di atas disebutkan kata al-sam’ (pendengaran) dalam bentuk mufrad (tunggal), sedangkan kata al-abshar (penglihatan-penglihatan) dan al-af’idah (aneka hati) dalam bentuk jamak.  Hal ini mengandung makna bahwa apa yang didengar selalu saja sama baik oleh seorang maupun banyak orang dan dari arah mana pun datangnya suara. Ini berbeda dengan apa yang dilihat. Posisi tempat berpijak dan arah pandang seseorang bisa melahirkan perbedaan hasil pandangan. Demikian pula hasil kerja akal dan hati. Hati manusia sekali senang sekali susah, sekali benci dan sekali rindu, tingkat-tingkatnya pun berbeda-beda walaupun obyek yang dibenci dan dirindui sama. Hasil penalaran akal pun dapat berbeda, boleh jadi ada yang sangat jitu dan tepat, dan ada pula yang merupakan kesalahan fatal. Kepala sama berambut, tetapi pikiran bisa berbeda-beda.

Alat-alat potensial yang diberikan oleh Allah kepada manusia tersebut ada yang hanya bisa menangkap obyek-obyek yang bersifat material, seperti pendengaran (as-sam’) dan penglihatan (al-bashar), dan ada pula yang bisa menangkap obyek-obyek immaterial, yaitu al-af’idah (akal pikiran dan hati atau qalbu). Dalam pandangan al-Qur’an ada obyek-obyek yang tidak bisa ditangkap oleh indera pendengaran dan penglihatan, bahkan oleh akal pikiran betapapun tajamnya mata kepala dan pikiran seseorang. Misalnya masalah hakikat Allah, surga, neraka, malaikat, shalat subuh harus dua raka’at sedangkan shalat dhuhur empat rakaat, segala tindakan manusia yang tampak dan tersembunyi akan dilihat oleh Allah dan dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid, masalah nasib manusia dan lain-lainnya,  adalah contoh-contoh obyek yang tidak bisa ditangkap dengan akal pikiran. Yang dapat menangkapnya hanyalah hati melalui wahyu, ilham atau intuisi. Karena itu, al-Qur’an di samping menuntun dan mengarahkan pendengaran dan penglihatan, juga memerintahkan agar mengasah akal (daya pikir) dan mengasuh daya qalbu.

Demikian uniknya alat-alat potensial dengan berbagai daya dan kemampuannya yang dimiliki oleh manusia itu dan merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Karena itu dalam ayat tersebut di atas diakhiri dengan kalimat la’allakum tasykurun (supaya kamu bersyu­kur). Menurut Muhammad Abduh, bahwa yang dinamakan syukur itu tiada lain kecuali menggunakan nikmat anugerah sesuai dengan fungsinya, dan sesuai dengan kehendak yang menganugerahkannya (yaitu Allah SWT.). Memfungsikan dan memberdayakan as-sam’, al-abshar dan al-af’idah secara optimal dalam kehidupan sehari-hari merupakan perwujudan dari syukur kepada-Nya.

Dilihat dari proses kejadiannya, manusia itu terdiri atas dua substansi, yaitu: (1) substansi jasad/materi, yang bahan dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah SWT. dan dalam pertumbuhan dan perkem­bangannya tunduk pada dan mengikuti sunnatullah (aturan, ketentuan, hukum Allah yang berlaku di alam semesta); (2) substansi immateri/non jasadi, yaitu penghembusan/peniupan ruh (ciptaanNya) ke dalam diri manusia, sehingga manusia merupakan benda organik yang mempunyai hakekat kemanusiaan serta mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah. Atau menurut al-Farabi, manusia itu terdiri atas dua unsur, yaitu: (1) satu unsur berasal dari ’alam al-khalq; dan (2) satu unsur berasal dari ’alam al-amr (ruh dari perintah Tuhan)

Dari kedua substansi tersebut, maka yang paling esen­sial adalah substansi immateri atau ruhnya. Jasad hanyalah alat ruh di alam nyata. Suatu ketika alat (jasad) itu terpisah dari ruh. Perpisahan itulah yang disebut dengan peristiwa maut. Yang mati adalah jasad, sedangkan ruh akan melanjutkan eksisten­sinya di alam barzah. Manusia yang terdiri atas dua substansi itu, telah dilengkapi dengan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau disebut fitrah, yang harus diaktualkan dan atau ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini mela­lui proses pendidikan, untuk selanjutnya dipertanggung-jawab­kan di hadapanNya kelak di akhirat.

Menurut Abdul Fattah Jalal (1977), bahwa alat-alat potensial manusia yang siap digunakan untuk memperoleh dan mencapai pengetahuan  adalah sebagai berikut: (1) Al-lams dan al-syum (alat peraba dan alat penciuman/ pembau), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-An’am ayat 7 dan Q.S. Yusuf ayat 94; (2) Al-Sam’u (alat pendengaran). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan penglihatan dan qalbu, yang menun­jukkan adanya saling melengkapi antara berbagai alat itu untuk mencapai ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Isra’ ayat 36, al-Mukminun ayat 78, al-Sajdah ayat 9, al-Mulk ayat 23, dan seba­gainya; (3) Al-abshar (penglihatan). Banyak ayat al-Qur’an yang menyeru manusia untuk melihat dan merenungkan apa yang dilihatnya, sehingga dapat mencapai hakekatnya. Seba­gaimana firman Allah dalam Q.S. al-A’raf ayat 185, Yunus ayat 101, al-Sajdah ayat 27, dan sebagainya; (4) Al-’aql (akal atau daya berfikir). Al-Qur’an memberi­kan perhatian khusus terhadap penggunaan akal dalam berfikir, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 191. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Islam tegak di atas pemikiran, sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-An’am ayat 50. Dalam al-Qur^an dinyatakan bahwa penggunaan akal memungkinkan diri manusia untuk terus ingat (dzikr) dan memikirkan/merenungkan cip­taanNya, sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Ra’d ayat 19. Dan penggunaan akal memungkinkan manusia mengeta­hui tanda-tanda (kebesaran/keagungan) Allah serta mengambil pelajaran daripadanya. Dalam beberapa ayat, kata al-nuha digunakan sebagai makna al-’uqul sebagai­mana firmanNya dalam Q.S. Thaha ayat 53-54, dan seba­gainya; (5) Al-Qalb (kalbu). Hal ini termasuk alat ma’rifah yang digunakan manusia untuk dapat mencapai ilmu, sebagai­mana firmanNya dalam Q.S. al-Hajj ayat 46, Q.S. Muhammad ayat 24 dan sebagainya. Qalbu ini mempunyai kedu­dukan khusus dalam ma’rifah ilahiyah, dengan qalbu manusia dapat meraih berbagai ilmu serta ma’rifah yang diserap dari sumber Ilahi. Dan wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam qalbu Nabi Muhammad SAW. sebagai­mana firmanNya dalam Q.S. al-Syu’ara’ ayat 192-194

Di samping itu Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa manusia itu telah diberi hidayah oleh Allah secara bertingkat-tingkat. Pengertian hidayah di sini, sebagaimana dikemu­kakan oleh Muhammad Rasyid Ridla, ialah petunjuk halus yang memudahkan seseorang untuk mencapai sesuatu yang dicari atau mencapai tujuan. Macam-macam hidayah yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia ialah: (1) hidayah al-ilhami (instink), yakni renyut hati (gerak hati, impuls) yang terdapat dalam bakat manusia maupun binatang. Termasuk di dalamnya nafsu, dorongan untuk melakukan sesuatu, doron­gan tersebut tidak berdasarkan suatu pikiran. Atau dengan kata lain dorongan yang bersifat animal, tidak berda­sarkan pikir panjang; (2) hidayah al-hawasi (indera), yaitu alat badani yang peka terhadap rangsangan dari luar, yang meliputi : al-bashirah (indera penglihatan), al-sami’ah (indera pendengaran), hassah al-tha’m (indera pengecap), hassah al-syum (indera pembau/penciuman), dan hassah al-lams (indera perabaan); (3) hidayah al-’aql (hidayah akal budi); (4) hidayah al-adyani atau hidayah agama; dan (5) hidayah al-taufiqi atau hidayah al-ma’unah.

Hidayah yang pertama dan kedua dianugerahkan baik kepada manusia maupun hewan; hidayah yang ketiga sampai dengan yang kelima hanya diberikan kepada manusia. Dan hidayah yang kelima tersebut (yang tertinggi) semata-mata monopoli Allah, Nabi sekalipun tidak berkompeten untuk memberi hidayah tingkat tertinggi itu. Sebagai contoh, Nabi SAW. tidak mampu memberi hidayah tingkat kelima itu kepada paman beliau, Abu Thalib, yang mencintai beliau dan sangat beliau cintai. Sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Qashash ayat 56, yang maksudnya bahwa “Engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah (al-taufiqi/al-ma^unah) ini kepada siapapun yang engkau cintai. Allahlah yang berkenan menganugerahkan hidayah tersebut kepada siapa saja yang dikehendakiNya”.

Dalam diskursus (perbincangan) para filosof Islam, manusia itu mempunyai bermacam-macam alat potensial dengan berbagai kemam­puannya yang sangat unik. Menurut mereka bahwa dalam diri manusia itu terdapat tiga macam jiwa sebagai berikut :
Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), yang mempunyai tiga daya, yaitu: daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak. Kedua, jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), yang memiliki dua daya, yaitu : daya penggerak (al-muharri­kah), dan daya mencerap (al-mudrikah). Daya penggerak bisa berbentuk nafsu (al-syahwah) serta amarah (al-ghadlab), dan bisa berbentuk gerak tempat (al-harakah al-makaniyah). Daya mencerap terbagi dua, yaitu : daya mencerap dari luar melalui pancaindera lahir (pengliha­tan. pendengaran, penciuman, perasaan lidah, dan perasaan tubuh); dan daya mencerap dari dalam melalui pancaindera batin, yang meliputi: (1) indera bersama (al-hiss al-musytarak) bertempat di bagian depan dari otak dan ber­fungsi menerima kesan-kesan yang diperoleh dari pancain­dera luar dan meneruskannya ke indera batin berikutnya; (2) indera penggambar (al-khayal), juga bertempat di bagian depan dari otak, tugasnya ialah melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya; (3) indera pengreka (al-mutakhayyalah), yang bertempat di bagian tengah dari otak, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi itu dengan memisah-misah dan kemudian memperhubungkannya satu dengan yang lain; (4) indera penganggap (al-wahmiyah), juga bertempat di bagian tengah dari otak, mempunyai fungsi menangkap arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran itu; (5) indera pengin­gat (al-hafidhah), yang bertempat di bagian belakang dari otak, menyimpan arti-arti yang ditangkap indera pengang­gap.

Ketiga, jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah) yang hanya mempunyai daya berfikir yang disebut akal. Akal ini terbagi dua, yaitu: akal praktis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang; dan akal teoretis yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat. Dengan demikian, akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan (particulars), sedangkan akal teore­tis bersifat metafisis, yang mencurahkan perhatian kepada dunia immateri dan menangkap keumuman (universals). Selanjutnya akal teoretis mempunyai empat derajat, yaitu: (1) akal materiil (al-’aql al-hayulani) yang merupakan potensi belaka, dalam arti akal yang kesanggu­pannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam materi, belum keluar; (2) akal bakat (al-’aql bi al-malakah), yakni akal yang kesanggu­pannya berfikir secara murni abstrak telah mulai keliha­tan, ia telah dapat menangkap pengertian dan kaidah umum, seperti seluruh lebih besar dari bagian; (3) akal aktual (al-’aql bi al-fi’l), yakni akal yang telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaidah umum dimaksud, dan akal aktual ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki; dan (4) akal perolehan (al-’aql al-mustafad), yakni akal yang di dalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal dalam derajat keempat inilah yang tertinggi dan terkuat dayanya, yang dimiliki filosof, dan yang dapat memahami alam murni abstrak (yang tak pernah berada dalam materi).

Di samping itu, manusia juga mempunyai potensi-potensi dasar yang disebut dengan ”fitrah”. Dari segi bahasa (sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Al-Munjid), fitrah berarti: “ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama, as-sunnah”. Al-Asfahani, ketika menjelas­kan makna fitrah dari segi bahasa, ia mengungkapkan kalimat “fathara Allah al-khalq”, yang maksudnya Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan  kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan. Sedangkan maksud fitrah Allah, sebagaimana dalam Q.S. al-Rum ayat 30, adalah suatu kekuatan/daya untuk mengenal/mengakui Allah  (keimanan kepadaNya) yang menetap/menancap di dalam diri manusia. Dengan demikian, makna fitrah adalah suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang menetap/menancap pada diri manusia sejak awal keja­diannya, untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepadaNya, cenderung kepada kebenaran (hanif), dan poten­si itu merupakan ciptaan Allah

Menurut Langgulung, bahwa ketika Allah menghembuskan/meniupkan ruh pada diri manusia (pada proses kejadian manusia secara non fisik/immateri), maka pada saat itu pula manusia (dalam bentuknya yang sempurna) mempunyai sebagian sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang tertuang dalam al-Asma’ al-Husna, hanya saja kalau Allah serba Maha, sedangkan manusia hanya diberi seba­giannya. Sebagian sifat-sifat ketuhanan yang menancap pada diri manusia dan dibawanya sejak lahir itulah yang disebut fitrah. Misalnya: al-’Aliim (Maha Mengetahui), manusia juga diberi kemampuan/potensi untuk mengetahui sesuatu; al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Rahiim (Maha Penyayang), manusia juga diberi kemampuan untuk mengasihi dan menyayangi orang lain; al-’Afuw al-Ghafur (Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun), manusia juga diberi kemam­puan untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain; al-Khaliq (Maha Pencipta), manusia juga diberi kemampuan untuk mengkreasi sesuatu, membudayakan alam; al-Lathif al-Khabir (Maha Lembut lagi Maha Mengetahui segala sesua­tu yang nampak maupun tersembunyi), manusia juga diberi kemampuan/ potensi untuk merahasiakan sesuatu atau dirin­ya dan kemampuan mengetahui fenomena sosial atau rahasia alam; al-Qadir (Maha Kuasa), manusia juga diberi kemam­puan untuk berkuasa; al-’Adil (Maha Adil), manusia juga diberi kemampuan untuk berlaku adil; al-Murid (Maha Berkehendak), manusia juga diberi potensi untuk berkehen­dak, mempunyai motivasi untuk berbuat; al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk), manusia juga diberi kemampuan untuk mendidik atau memberi pengajaran; demikian seterusnya.

Pemahaman tentang fitrah manusia juga bisa dikaji dari ajaran agama Islam sebagaimana yang ditunjukkan  dalam al-Qur’an dan as-sunnah, karena di dalam Q.S. al-Rum ayat 30 dinyatakan bahwa agama Islam bersesuaian benar dengan fitrah manusia. Ajaran Islam – yang hendaknya dipatuhi oleh manusia – itu sarat dengan nilai-nilai Ilahiyah yang universal dan manusiawi yang patut dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan segala perintah dan laranganNya pun erat berhubungan dengan fitrah manu­sia. Bila ditinjau dari aspek tersebut, maka fitrah manusia itu cukup banyak macamnya, yang terpenting di antaranya, yaitu: (1) fitrah beragama, yang merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan yang menguasai dan mengatur segala aspek kehidupan manusia; dan fitrah ini merupakan sentral yang mengarahkan dan mengontrol perkembangan fitrah-fitrah lainnya; (2) fitrah berakal budi merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk berfikir dan berdzikir dalam memahami tanda-tanda keagun­gan Tuhan yang ada di alam semesta, berkreasi dan berbu­daya, serta memahami persoalan dan tantangan hidup yang dihadapinya dan berusaha memecahkannya; (3) fitrah keber­sihan dan kesucian, yang mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya; (4) fitrah bermoral/berakhlak, yang mendorong manusia untuk komitmen terhadap norma-norma atau nilai-nilai dan aturan yang berlaku; (5) fitrah kebenaran, yang mendorong manusia untuk selalu mencari dan mencapai kebenaran; (6) fitrah kemerdekaan yang mendorong manusia untuk bersikap bebas/merde­ka, tidak terbelenggu dan tidak mau diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan; (7) fitrah keadilan yang mendorong manusia untuk berusaha menegakkan keadilan di muka bumi; (8) fitrah persamaan dan persatuan yang mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta menentang diskriminasi ras, etnik, bahasa, dan sebagainya, dan berusaha menjalin kesatuan dan persatuan di muka bumi; (9) fitrah individu yang mendorong manusia untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, mempertahankan harga diri dan  kehormatannya, serta menjaga keselamatan diri dan hartanya; (10) fitrah sosial yang mendorong manusia untuk hidup bersama, bekerjasama, bergotong royong, saling membantu dan sebagainya; (11) fitrah seksual yang mendorong seseorang untuk mengembangkan keturunan (berkembang biak), melanjutkan keturunan, dan mewariskan tugas-tugas kepada generasi penerusnya; (12) fitrah ekonomi yang mendor­ong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi; (13) fitrah politik yang mendorong manu­sia untuk berusaha menyusun suatu kekuasaan dan institusi yang mampu melindungi kepentingan bersama; (14) fitrah seni yang mendorong manusia untuk menghargai dan mengembang­kan kebutuhan seni dalam kehidupannya; dan fitrah-fitrah lainnya.

Alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberi kebebasan/kemerdekaan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut. Namun demi­kian dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alam, hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manu­sia sendiri, yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum inilah yang disebut dengan taqdir (“Keharusan Universal” atau “kepastian umum” sebagai batas akhir dari ikhtiar manusia dalam kehidupannya di dunia). Di samping itu, pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial dan fitrah manusia itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio-kultural, sejarah dan faktor-faktor temporal

PENDEKATAN SUPERVISI PENDIDIKAN

Posted in Uncategorized on April 28, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

(Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang, Jurusan Manajemen Pendidikan Islam)

Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualits sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk menigkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah. Sekolah merupakan lembaga formal sesuai dengan misinya yaitu melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan ( pre-service education ) maupun program dalam jabatan ( inservice education ). Potensi sumber daya guru perlu terus menerus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara professional. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tugas guru mencakup pengembangan program tahunan, program semester, pokok bahasan, program mingguan dan harian, program pengayaan dan remedial, serta program bimbingan dan konseling. Dalam prakteknya tentu tidah semudah yang dibayangkan, guru sering mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya, adakalanya guru menemui kendala dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak mampu menyelesaikannya sendiri, maka oleh karena itu seorang pendidik atau guru membutuhkan bimbingan atau petunjuk dari seorang supervisor pendidikan. Disekolah yang berperan sebagai supervisor salah satunya adalah kepala sekolah. Sebagai supervisor kepala sekolah memegang peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan, untuk mewujudkan semuanya salah satu cara yang harus dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan supervisi untuk para guru disekolah yang dipimpinnya. Sebagai supervisor kepala sekolah harus bisa mengarahkan, membimbing, menilai, mengawasi, dan memperbaiki kesalahan serta kelemahan yang terjadi dalam proses belajar mengajar

PENGERTIAN SUPERVISI

Dalam Dictionary Of Education, Good Carter (1959) yang dikutip oleh Sahertian (2000:17) memberi pengertian bahwa “supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya dalam memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru-guru serta merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode serta evaluasi pengajaran”. Mc Merney (1951:1) dalam Sahertian (2000:17) “melihat supervisi itu sebagai usaha sebagai suatu prosedur memberi arah serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran”. Pendapat lain dikemukan oleh Glicman ( 1981 ) yang dikutip oleh arni Muhammad dkk,( 2000:6 ) menjelaskan bahwa “ supervisi adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses belajar mengajar demi pencapaian tujuan pengajaran

Selanjutnya Kimbal Wiles dalam bukunya supervision for better scholl yang dkutip oleh Soetopo (1982:40) mengartikan supervisi dengan “supervision is a service activity that exist to help teachers to their job better ” disini Kimbal lebih mengutamakan pelayanan seorang guru yang dilaksanankan sedemikian rupa sehingga mereka dapat bekerja lebih dari baik. Pendapat lain juga dikemukakan Pidarta (1992:5) bahwa hakikat supervisi merupakan suatu proses pembimbingan dari pihak atasan kepada Guru-guru dan personil sekolah lainnya, tujuannya menangani masalah belajar para siswa untuk memperbaiki situasi belajar mengajar. Dengan demikian para siswa akan dapat belajar secara efektif dengan prestasi belajar yang semakin meningkat

Berdasarkan beberapa kutipan para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa supervisi pendidikan  adalah proses pemberian bantuan kepada guru/ staf sekolah untuk memperbaiki atau mengembangkan situasi belajar mengajar kearah yang  lebih baik, dengan kata lain supervisi pendidikan adalah suatu proses pemberian layanan, bimbingan dan bantuan kepada guru-guru baik secara individual maupun kelompok dalam rangka memperbaiki pengajaran guru di kelas yang mencakup segala aspek tugas pengajaran yang dilakukan guru.

Dalam pelaksanaan supervisi, karakteristik guru yang dihadapi oleh supervisor pasti berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi usia dan kematangan, pengalaman kerja, motivasi maupun kemampuan guru. Karena itu, supervisor harus menerapkan pendekatan yang sesuai dengan karakteritik guru yang dihadapinya. Apabila pendekatan yang digunakan tidak sesuai, maka kegiatan supervisi kemungkinan tidak akan berjalan dengan efektif. Sergiovanni (1982), mengemukakan berbagai pendekatan supervisi, antara lain (a) supervisi ilmiah (scientific supervision), (b) supervisi klinis (clinical supervision), (c) supervisi artistik, (d) integrasi di antara ketiga pendekatan tersebut.

  1. 1.      Supervisi Ilmiah

John D. McNeil (1982), menyatakan bahwa terdapat tiga pandangan mengenai supervisi ilmiah sebagai berikut: Pertama, supervisi ilmiah dipandang sebagai kegiatan supervisi yang dipengaruhi oleh berkembangnya manajemen ilmiah dalam dunia industri. Menurut pandangan ini, kekurang berhasilan guru dalam mengajar, harus dilihat dari segi kejelasan pengaturan serta pedoman- pedoman kerja yang disusun untuk guru. Oleh karena itu, melalui pendekatan ini, kegiatan mengajar harus dilandasi oleh penelitian, agar dapat dilakukan perbaikan secara tepat. Kedua, supervisi ilmiah dipandang sebagai penerapan penelitian ilmiah dan metode pemecahan masalah secara ilmiah bagi penyelesaian permasalahan yang dihadapi guru di dalam mengajar. Supervisor dan guru bersama-sama mengadopsi kebiasaan eksperimen dan mencoba berbagai prosedur baru serta mengamati hasilnya dalam pembelajaran. Ketiga, supervisi ilmiah dipandang sebagai democratic ideology. Maksudnya setiap penilaian atau judgment terhadap baik buruknya seorang guru dalam mengajar, harus didasarkan pada penelitian dan analisis statistik yang ditemukan dalam action research terhadap problem pembelajaran yang dihadapi oleh guru. Intinya supervisor dan guru harus mengumpulkan data yang cukup dan menarik kesimpulan mengenai problem pengajaran yang dihadapi guru atas dasar data yang dikumpulkan. Hal ini sebagai perwujudan terhadap ideologi demokrasi, di mana seorang guru sangat dihargai keberadaannya, serta supervisor menilai tidak atas dasar opini semata. Keempat, pandangan tersebut tentunya sampai batas tertentu saat ini masih relevan untuk diterapkan. Pandangan bahwa guru harus memiliki pedoman yang baku dalam mengajar, perlu juga dipertimbangkan. Demikian pula pendapat bahwa guru harus dibiasakan melakukan penelitian untuk memecahkan problem mengajarnya secara ilmiah, dapat pula diadopsi. Pandangan terakhir tentunya harus menjadi landasan sikap supervisor, di mana ia harus mengacu pada data yang cukup untuk menilai dan membina guru.

  1. 2.      Supervisi Artistik

Supervisi artistik dapat dikatakan sebagai antitesa terhadap supervisi ilmiah. Supervisi ini bertolak dari pandangan bahwa mengajar, bukan semata-mata sebagai science tapi juga merupakan suatu art. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam meningkatkan kinerja mengajar guru juga harus mempertimbangkan dimensi tersebut. Elliot W. Eisner (1982) menyatkan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan supervisi artistik, ialah pendekatan yang menekankan pada sensitivitas, perceptivity, dan pengetahuan supervisor untuk mengapresiasi segala aspek yang terjadi di kelas, dan kemudian menggunakan bahasa yang ekspresif, puitis serta ada kalanya metaforik untuk mempengaruhi guru agar melakukan perubahan terhadap apa yang telah diamati di dalam kelas. Dalam supervisi ini, instrumen utamanya bukanlah alat ukur atau pedoman observasi, melainkan manusia itu sendiri yang memiliki perasaan terhadap apa yang terjadi. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (suasana) kependidikan di sekolah. Dari pengertian tersebut, mungkin dapat dianalogikan dengan pendekatan penelitian. Supervisi ilmiah paradigmanya identik dengan penelitian

  1. 3.      Supervisi Klinis

Supervisi klinis berangkat dari cara pandang kedokteran, yaitu untuk mengobati penyakit, harus terlebih dahulu diketahui apa penyakitnya. Inilah yang harus dilakukan oleh supervisor terhadap guru apabila ia hendak membantu meningkatkan kualitas pembelajaran mereka. Supervisi klinis dilakukan melalui tahapan-tahapan: (a) pra observasi, yang berisi pembicaraan dan kesepakatan antara supervisor dengan guru mengenai apa yang akan diamati dan diperbaiki dari pengajaran yang dilakukan, (b) observasi, yaitu supervisor mengamati guru dalam mengajar sesuai dengan fokus yang telah disepakati, (c) analisis, dilakukan secara bersamasama oleh supervisor dengan guru terhadap hasil pengamatan, dan (d) perumusan langkah-langkah perbaikan, dan pembuatan rencana untuk perbaikan

PERILAKU ORGANISASI DAN BEKERJA DENGAN TIM

Posted in Uncategorized on April 28, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

(Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang, Jurusan Manajemen Pendidikan Islam)

PENDAHULUAN

Organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan dan penghidupan manusia. Setiap hari manusia berhubungan dengan organisasi, karena organisasi merupakan salah satu bentuk dari sistem sosial. Walaupun pengalaman beroganisasi itu ada yang menyenangkan dan menjengkelkan, ada yang positif ada pula yang negatif, tetapi manusia tetap saja memerlukan organisasi. Adanya pertentangan ini sebagai konsekuensi bahwa manusia pada hakikatnya tidak sama ata penuh dengan perbedaan. Perbedaan inilah yang kemudian disebut dengan perilaku organisasi.

Kita mengetahui bahwa setiap orang memiliki kepribadian yang unik. Kepribadian seseorang yang unik tersebut kemudian akan menjadi dasar dalam perilaku seseorang. Kepribadia yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi cara kita berperilaku, dan juga berinteraksi dengan yang lain. Ketika kita menggambarkan seseorang itu merupakan orang yang hangat, bersahabat, terbuka, menyenangkan, atau bahkan mungkin konserfatif, maka sebenarnya kita telah menggambarkan perilaku seseorang. Organisasi juga memiliki kepribadian, yang selanjutnya akan disebut dengan istilah perilaku organisasi. Perilaku organisasi merupakan suatu sistem untuk saling bertukar makna dan kepercayaan-kepercayaan dalam suatu organisasi, yang akan mempengaruhi orang-orang dalam organisasi tersebut berperilaku. Sehingga perilaku orang-orang yang ada dalam suatu organisasi akan dapat mewakili pandangan tentang organisasi tersebut

Dalam kaitan ini perlu ditekankan bahwa dalam suatu organisasi terdapat sesuatu nilai tambah yang tidak perlu tampak dengan jelas. Gaya bekerja, karakteristik tertentu, cara-car berperilaku, tradisi, etos bahkan mitos dan filosofisnya, dapat berupa kekuatan yang mungkin lebih ampuh dari keinginan seseorang atau sustu sistem tertentu yang sifatnya formalistik untuk mengenali jiwa suatu organisasi. Para pemerhati dan pemimpin organisasi tidak cukup kalau hanya berusaha memahami bangan organisasi, mengenali ketentuan-ketentuan formal yang berlaku, mengetahu bentuk dan jenis sarana dan prasarana yang tersedia. Tugas seorang pemimpin yang diperlukan dalam sebuah organisasi adalah pendalaman dan pemahaman terhadap perilaku-perilaku organisasi dengan segala implikasinya.[1]

Definisi tentang perilaku organisasi tersebut kemudian berdampak terhadap berbagai hal, yaitu: Pertama, perilaku/budaya adalah suatu persepsi. Orang-orang mempersepsikan perilaku/budaya organisasi mendasarkan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan ketika orang-orang tersebut berada dalam organisasi. Kedua, orang-orang dari perilaku/budaya yang berbeda dan dari level pekerjaan yang berbeda, akan mendefinisikan perilaku/budaya organisasi sesuai dengan terminologi mereka, yang kemudian akan di “saling tukarkan “ untuk menjadi budaya dalam organisasi. Ketiga, perilaku/budaya organisasi adalah suatu gambaran tentang bagaimana para anggota mempersepsikan organisasi menurut mereka, bukan hanya berkaitan dengan hasil evaluasi.[2]

Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa perilaku organisasi merupakan ilmu tentang perilaku tiap individu dan kelompok serta pengaruh tiap individu dan kelompok terhadap organisasi, maupun perilaku interaksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok dalam organisasi demi kemanfaatan suatu organisasi. Meskipun semua organisasi memiliki perilaku/budaya, namun tidak semua perilaku/budaya organisasi memiliki dampak yang sama terhadap perilaku orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Perilaku/Budaya organisasi yang kuat, merujuk pada bagaimana nilai-nilai kunci dalam organisasi tersebut terbagi secara luas kepada seluruh anggota organisasi dan secara intensif terinternasisasikan pada seluruh anggota organisasi. Pada organisasi dengan perilaku/budaya organisasi yang kuat nilai-nilai tersebut akan mempengaruhi orang-orang didalam organisasi dan dalam perilaku mereka sehari-hari. Oleh karena itu sebagaimana telah disinggung diatas, pembahasan masalah perilaku organisasi jelas akan meliputi atau menyangkut pembahasan mengenai perilaku individu dalam organisasi. Dengan demikian dapat dilihat bahwa ruang lingkup kajian ilmu perilaku organisasi hanya terbatas pada dimensi internal dari suatu organisasi.

KONSEP DASAR PERILAKU ORGANISASI

Pada dasarnya, setiap organisasi merupakan suatu sistem yang khas yang mempunyai keperibadian dan jati diri sendiri. Karena itu, setiap organisasi memiliki perilaku atau budaya yang khas pula. Perilaku atau budaya organisasi merupakan nilai-nilai yang telah disepakati bersama serta dianut bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan. Makin kuat perilaku atau budaya organisasi, maka semakin mantap pula kesepakatan bersama tersebut. Oleh karena itu, melalui proses sosialisasi, perilaku atau budaya organisasi harus melembaga sedemikian rupa sehingga usianya lebih lama dari keberadaan siapapun dalam organisasi tersebut.

Teori atau ilmu perilaku organisasi (organization behavior) pada hakekatnya mendasarkan kajiannya pada ilmu perilaku itu sendiri (akar ilmu psikologi), yang dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam organisasi. Dengan demikian, kerangka dasar teori perilaku orgnaisas ini didukung oleh dua komponen pokok, yakni individu-individu yang berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah dari perilaku tersebut. Jadi, perilaku organisasi adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam organisasi atau suatu kelompok tertentu. Aspek pertama meliputi pengaruh organisasi terhadap manusia, sedang aspek kedua pengaruh manusia terhadap organisasi. Pengertian ini sesuai dengan rumusan Kelly dalam bukunya Organizational Behavior yang menjelaskan bahwa perilaku organisasi di dalamnya terdapat interaksi dan hubungan antara organisasi di satu pihak dan perilaku individu di lain pihak. Kesemuanya ini memiliki tujuan praktis yaitu untuk mengarahkan perilaku manusia itu kepada upaya-upaya pencapaian tujuan.[3]

Perilaku organisasi, sesungguhnya terbentuk dari perilaku-perilaku individu yang terdapat dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana telah disinggung diatas, masalah perilaku organisasi jelas akan meliputi atau menyangkut pembahasan mengenai perilaku individu. Dengan demikian dapat dilihat bahwa ruang lingkup kajian ilmu perilaku organisasi hanya terbatas pada dimensi internal dari suatu organisasi. Dalam kaitan ini, aspek-aspek yang menjadi unsur-unsur, komponen atau sub sistem dari ilmu perilaku organisasi antara lain adalah: motivasi, kepemimpinan, stres dan atau konflik, pembinaan karir, masalah sistem imbalan, hubungan komunikasi, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, produktivitas dan atau kinerja (performance), kepuasan, pembinaan dan pengembangan organisasi (organizational development). Sementara itu aspek-aspek yang merupakan dimensi eksternal organisasi seperti faktor ekonomi, politik, sosial, perkembangan teknologi dan kependudukan, menjadi kajian dari ilmu manajemen strategik (strategic management). Jadi, meskipun faktor eksternal ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan organisasi dalam mewujudkan visi dan misinya, namun tidak akan dibahas dalam konteks ilmu perilaku organisasi.

Dalam mencapai tujuan organisasi, keberadaan perilaku organisasi sangat penting. Berikut beberapa pengertian dari perilaku organisasi yaitu:

  1. Perilaku organisasi adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam organisasi atau suatu kelompok tertentu. Aspek pertama meliputi pengaruh organisasi terhadap manusia, sedang aspek kedua pengaruh manusia terhadap organisasi.
  2. Perilaku organisasi merupakan suatu sistem untuk saling bertukar makna-makna dan kepercayaan-kepercayaan dalam suatu organisasi, yang akan mempengaruhi orang-orang dalam organisasi tersebut berperilaku. Sehingga perilaku orang-orang yang ada dalam suatu organisasi akan dapat mewakili pandangan tentang organisasi tersebut.
  3. Perilaku organisasi adalah suatu sistem nilai dan keyakinan bersama yang dianut oleh semua pihak yang harus berinteraksi dalam rangka pencapaian tujuan.[4]
  4. Perilaku organisasi adalah studi sistematis tentang tindakan dan sikap yang ditunjukkan orang-orang dalam organisasi.

Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa perilaku oeganisasi adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana seharusnya perilaku tingkat individu, tingkat kelompok, serta dampaknya terhadap kinerja, baik kinerja individual, kelompok, maupun organisasi. Perilaku organisasi juga dikenal sebagai studi tentang organisasi. Studi ini adalah sebuah bidang telaah akademik khusus yang mempelajari perilau organisasi dengan memanfaatkan metode-metode dari psikologi, sosiologi, psikologi social, antropologi dan ilmu politik.

Dalam proses kerja sama dua orang atau lebih terdapat bermacam-macam perilaku individu di dalam organisasi. Manusia dalam organisasi berinteraksi, baik dengan sesame individu maupun dengan kelompok atau organisasinya. Hal inilah yang merupakan bagian dari teori perilaku organisasi. Kerangka teori perilaku organisasi dijelaskan oleh gambar berikut:[5]

Pengalaman peribadi                 sifat-sifat pribadi                       latar belakang

            Masa lampau

Lingkungan           Teknologi               Strategi

Gamabr: 1. Kerangka perilaku organisasi (Griffin & Moorhead, 1996)

Dengan demikian, dalam analisis penulis bahwa dalam berinteraksi di dalam organisasi, manusia sebagai individu menampilkan berbagai perilaku, baik perilaku itu sebagai sifat-sifat pribadi yang dibawa sejak lahir (paham nativisme) atau pengalaman dari pengaruh lingkungan (paham empirisme) maupun kombinasi keduanya (paham konvergensi). Sedangkan interdisiplin yang mempengaruhi perilaku organisasi adalah spikologi, sosiologi, psikologi sosial, ilmu politik, antropologi, ekonomi, kesehatan, ilmu politik, budaya, agama serta administrasi dan teori sistem.

Perilaku organisasi, memiliki hubungan dan peranan yang sangat strategis untuk mencapai tujuan organisasi. Perilaku manusia dalam organisasi sangat membantu untuk mengembangkan misi, visi, core beliefs dan core value. Hubungan tersebut data digambarkan sebagai berikut:[6]

Perilaku/budaya

Organisasi

SWOT

Evaluasi/Umpan

Balik

Gambar: 2. Hubungan perilaku organisasi dengan pencapaian tujuan

 

Dengan demikian, core beliefs dan core values merupakan suatu jalan yang ditempuh oleh suatu organisasi/lembaga pendidikan untuk mewujudkan visi dari organisasi tersebut. Core beliefs dan core values merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh setiap organisasi/lembaga pendidikan dalam perjalanan mewujudkan visi. Core beliefs dan core values memberikan batasan dalam pemilihan cara-cara yang ditempuh dalam mewujudkan visi organisasi/lembaga pendidikan dan membentuk perilaku yang diharapakan dari vivitas organisasi dalam mewujudkan visinya. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 2 di atas.

Perilaku individu bersama-sama perilaku kelompok membentuk perilaku organisasi. Sebagai contoh, dalam organisasi terdapat individu-individu yang penuh inisiatif, inovatif, kreatif, rajin, disiplin dan berani mengambil risiko untuk mencapai tujuan individu dan organisasi secara efektif efisien. Sebaliknya, ada pula individu-individu yang secara pasif, apatis, menunggu instruksi, masa bodoh, malas, tidak disiplin dan takut mengambil risiko. Bahkan ada pula individu-individu yang agresif menyerang dan menentang hasil diskusi kelompok, mengemukakan hal-hal yang tidak relevan dengan masalah dan merasa pintar sendiri. Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku individu dalam organisasi terbagi atas perilaku yang berorientasi pada: (1) tugas, (2) pembinaan kelompok dan (3) diri sendiri. Ketiga perilaku tersebut merupakan hal yang wajar terjadi dalam organisasi. Dalam hal ini, yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana mengembangkan perilaku yang berorientasi pada tugas dan pembinaan kelompok secara maksimal agar tujuan individu dan organisasi terwujud secara efektif dan efisien.[7]

Meski telah disadari bahwa perilaku organisasi bersifat dinamik dan pluralistik, perdebatan tentang apakah perilaku organisasi dapat di-manage dan dikendalikan masih terjadi. Pandangan pertama yang menyatakan bahwa perilaku organisasi dapat di-manage dan dikendalikan. Argumentasi yang digunakan adalah bahwa perilaku organisasi merupakan komponen illusive yang menyatu dalam diri setiap orang. Pandangan kedua menyatakan bahwa perilaku organisasi dapat di-manage dan dikendalikan. Pandangan ini terpecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu pendapat bahwa perubahan perilaku organisasi sangat bergantung kemauan para eksekutif dan pendapat yang mengatakan bahwa perubahan hanya mungkin dilakukan jika memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan budaya organisasi.

Kemampuan untuk menjelaskan dan mengendalikan perilaku organisasi pada masa kini merupakan hal yang lebih penting bagi para manajer dari waktu-waktu yang telah berlalu[8]. Pengelolaan perilaku organisasi dengan baik akan berdampak terhadap pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, peran pemimpin sangat dibutuhkan.

Perilaku organisasi adalah ilmu perilaku terapan dan akibatnya, dibangun di atas kontribusi dari beberapa disiplin ilmu tentang perilaku. Bidang-bidang yang utama antara lain, yaitu:[9]

  1. Psikologi, adalah ilmu yang mencoba mengukur, menjelaskan dan kadangkala merubah perilaku manusia. Para psikolog berusaha untuk memperlajari dan memahami perlaku individu.
  2. Sosiologi, para psikolog memfokuskan perhatiannya pada individu, sementara para sosiolog mempelajari sistem sosial, dimana individu mengisi peran-peran mereka. Jadi, sosilogi mempelajari individu dengan hubungannya antarsesama manusia terutam tentang perilaku kelompok dalam organisasi
  3. Psikologi Sosial, adalah suatu bidang dalam psikologi, yang memadukan antara konsep psikologi dengan sosiologi. Bidang ini menitikberatkan pada pengaruh orang-orang antara satu sama lainnya.
  4. Antropologi, studi mengenai berbagai kelompok masyarakat yang bertujuan untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan manusia dan aktivitas mereka. Antropologi telah membantu dalam memahami perbedaan fundamental tentang nilai-nilai, sikap dan perilaku individu dalam organisasi.
  5. Ilmu Politik, walaupun sering terlupakan, kontribusi para ahli ilmu politik cukup signifikat untuk memahami perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. Ilmu politik adalah studi tentang perilaku individu dan kelompok dalam suatu lingkungan politik.

Dengan demikian, peran bidang disiplin keilmuan tersebut di atas sangat besar terhadap perilaku organisasi terutama yang perkaitan dengan perilaku individu dan kelompok di dalam organisasi untuk mencapai tujuan. Perilaku organisasi menumbuhkan perasaan dalam diri para anggota organisasi tentang berbagai hal seperti bagaimana berperilaku, apa yang harus dilakukan, menentukan skala prioritas secara tajam, membantu para anggota organisasi mengisi kekosongan petunjuk formal dan kenyataan operasional yang terjadi dilapangan. Oleh karena itu, dapat penulis katakan bahwa perilaku organisasi sangat penting dalam mengimplementasikan strategi organisasi dalam mencapai tujuan.

Berikut gambar yang menjelaskan tentang peran disiplin keilmuan lain dalam pengembangan perilaku organisasi yaitu:[10]

  Ilmu perilaku                    Kontribusi                               Unit Analisis           Output

Gambar: 3. Tentang disiplin ilmu perilaku organisasi

Merubah perilaku organisasi bukan perkara mudah, karena sekali perilaku sudah terkristalisasi ke dalam masing-masing anggota organisasi dan tersistem dalam kehidupan organisasi, maka para anggota organisasi akan cenderung mempertahankannya tanpa memperhatikan apakah perilaku organisasi tersebut functional atau disfunctional terhadap kehidupan organisasi. Dengan kata lain perubahan perilaku hampir selalu berhadapan dengan resistensi para pegawai, sehingga perubahan perilaku organisasi seringkali berjalan secara gradual dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Perubahan perilaku organisasi umumnya diawali dengan adanya krisis organisasi yakni ketika organisasi berusaha mengatasi situasi kritis baik yang berasal dari dalam organisasi maupun dari luar lingkungan organisasi. Namun demikian tidak berarti bahwa pada tahap pertumbuhan tidak dimungkinkan adanya perubahan perilaku organisasi. Hal ini berarti bahwa pada setiap tahap organisasi dimungkinkan adanya perubahan perilaku, hanya yang membedakan adalah tujuan dari perubahan tersebut.

Ada 4 (empat) mekanisme perubahan yang bisa digunakan dalam suatu organisasi antara lain, yaitu:

  1. Perubahan evolutif yang bersifat natural: Perubahan perilaku organisasi yang bersifat natural tanpa adanya rekayasa perencanaan sebelumnya dan lebih berorientasi internal dalam kerangka memperkokoh nilai-nilai yang sudah ada.
  2. Perubahan evolutif yang dipandu dari dalam organisasi (self guided) dengan menggunakan terapi organisasi: Perubahan perilaku organisasi karena adanya kesadaran akan pentingnya memantau terus kondisi internal organisasi, melakukan penilaian dan evaluasi sehingga mengetahui kelemahan dan kelebihan organisasi. Perubahan ini terkadang membutuhkan keterlibatan orang luar dengan tujuan memberikan jaminan secara psikologis kepada orang-orang dalam organisasi bahwa perubahan tidak perlu ditakutkan.
  3. Perubahan evolutif dengan hybrids: Perubahan perilaku organisasi dengan membiarkan perilaku/budaya lama tetap eksis namun pada saat yang bersamaan mulai diperkenalkan perilaku organisasi baru sampai pada saatnya nanti perilaku/budaya baru benar-benar bisa menggantikan perilaku organisasi yang lama.
  4. Perubahan revolutif terkendali dengan bantuan pihak luar organisas: Perubahan ini bisa dikatakan revolusioner karena perubahanya melibatkan orang luar meski perubahannya masih dalam batas kendali organisasi.[11]

Meski sebagai manusia sadar bahwa perubahan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, namun ketika perubahan itu menimpa manusia, belum tentu manusia mau menerimanya dengan sukarela. Ada beberapa bentuk resistensi (perlawanan) terhadap perubahan perilaku organisasi yaitu:

  1. Culture of denial (Pengingkaran). Munculnya persepsi tentang pengingkaran komitmen perusahan kepada pegawai untuk tetap mempertahankan lingkungan kerja yang kondusif.
  2. Culture of fear (Ketakuatan). Munculnya kekhawatiran, stres, depresi dan takut terhadap dampak perubahan yang akan terjadi
  3. Culture of cynism (Sinisme). Munculnya persepsi bahwa perubahan perilaku organisasi hanya rekayasa sebagian orang dan tidak sungguh-sungguh serta hanya untuk kepentingan sebagian pihak saja
  4. Culture of self-interest (Mementingkan diri sendiri). Munculnya sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri dengan mencari peluang di luar perusahaan.
  5. Culture of distrust (Ketidakpercayaan). Munculnya perasaan saling curiga terhadap sesama mitra kerja (horizontal) dan kepada eksektufi (vertical)
  6. Culture of anomie (Ketidakstabilan sosial). Munculnya perubahan sosial akibat perubahan gaya kepemimpinan, sikap, pola pikir dan perilaku yang lama.

Oleh karena itu, dalam pandangan penulis, perubuhan perilaku organisasi sangat penting untuk mengembangan dan mencapai tujuan organisasi tersebut. Namun yang besifat filosofis atau landasan berdirinya organisasi tidak boleh dirubah karena akan mempengaruhi terhadap kinerja pegawai. Perubahan dan pengembangan perilaku organisasi pada zaman globalisasi ini sangat penting untuk dilakukan olek pemimpin. Lembaga pendidikan yang tidak mau mengalami perubahan dan pengembangan, akan tertinggal dalam persaingan di era globalisasi atau era ilmu pengetahuan dan teknologi baik teknologi komunikasi maupun teknologi informasi.

 BEKERJA DENGAN TIM

Bekerja dengan tim adalah bentuk khusus kelompok kerja yang harus diorganisasikan dan dikelola secara berbeda dengan bentuk kelompok kerja lain. Tim beranggotakan orang-orang yang dikoordinasikan untuk bekerja bersama  yang merupakan satu sisi dari suatu jenis kontes. Bukan kontes melawan tim-tim lain di dalam organisasi bersangkutan, melainkan kontes melawan pemborosan, kualitas yang buruk, keterlambatan, pengulangan pekerjaan, produktivitas yang rendah, dan para pesaing.

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupannya, hampir tidak ada yang dapat dilakukan oleh manusia secara sendirian. Mereka akan senantiasa membutuhkan peran dari yang lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hampir semua pekerjaan yang dilakukan selalu melibatkan sekelompok orang yang bekerja secara bersama dengan tujuan yang sama. Sekelompok orang yang bekerja secara bersama untuk maksud tertentu inilah yang disebut sebagai tim. Bekerja dengan tim akan meringankan beban yang harus dipikul. Namun perlu diingat bahwa hal ini dapat dicapai jika tim tersebut benar-benar efektif. Tim yang efektif dicirikan oleh tujuan (goal) bersama yang jelas dan dipahami oleh paradigma yang sama dari setiap anggota tim. Semua anggota akan merasa terdorong untuk mencapai tujuan tersebut dan menempatkan prioritas tim lebih tinggi dibandingkan dengan prioritas masing-masing. Dengan pemahaman yang sama tentang goal yang ingin dicapai, semua anggota tim dapat bersinergi sehingga pekerjaan yang beratpun akan terasa lebih ringan.

Secara sederhana, kunci dalam membangun dan mengelola tim itu adalah komunikasi dan rasa saling percaya dalam tim tersebut. Orang-orang yang berada di dalam tim dengan penempatan sesuai dengan  skill masing-masing merupakan potensi besar bagi tim. Namun, tanpa komunikasi serta rasa saling percaya, potensi tersebut tidak mampu berkontribusi untuk kemajuan tim. Komunikasi serta rasa saling percaya saling berkaitan. Komunikasi yang baik dibangun di atas rasa saling mengerti dan memahami antar anggota tim, termasuk di dalamnya pemimpin tim. Rasa saling mengerti dan memahami ini dapat muncul ketika satu sama lain mengenal sifat atau pun karakter masing-masing. Secara naluriah, manusia adalah makhluk yang senantiasa ingin dipahami dan dimengerti. Rasa saling percaya sangat dibutuhkan saat bekerja dengan tim. Rasa percaya ini akan menumbuhkan komitmen untuk bekerja dengan tim. Ketika seorang pemimpin tidak menaruh rasa percaya kepada anggotanya, dia akan ragu-ragu dalam memberikan suatu tugas ataupun tanggungjawab kepada anggotanya.

Anggota tim dapat menangkap pesan keraguan tersebut dari pemimpinnya. Hal ini dapat menibulkan ketidak percayaan terhadap pemimpin mereka dan terhadap diri mereka sendiri. Respon yang muncul kemudian adalah mereka tidak seratus persen berkomitmen dengan tugas ataupun tanggungjawab yang diberikan oleh pemimpin tim. Oleh karena itu, hargailah semua pekerjaan ataupun tugas yang telah dilakukan dengan baik oleh setiap anggota tim. Akhirnya, semua hal yang ada dalam tim pasti membutuhkan seorang pemimpin untuk memandu mereka. Pemimpin yang baik harus mampu menempatkan dirinya dalam situasi apapun. Ketika tim berada dalam kondisi dan situasi yang menguntungkan, pemimpin harus mampu untuk senantiasa menghargai anggotanya dan mendorong mereka untuk bekerja lebih baik guna mencapai tujuan bersama.[12]

Bekerja dengan tim merupakan suatu upaya untuk menigkatkan kualitas organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ciri-ciri bekerja dengan tim yang baik, yaitu:

  1. Tujuan yang sama. Jika semua anggota tim memiliki tujuan yang sama dan searah akan mempermudah untuk melakukan pekerjaan dalam tim. Anggota harus benar-benar mengetahui tujuan yang hendak dicapai bersama.
  2. Antusiasme yang tinggi. Antusiasme yang tinggi dapat dibangkitkan  jika kondisi kerja juga menyenangkan. Anggota tima diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapat, mereka juga diberi kesempatan untuk menunjukkan keahlian mereka dengan menjadi diri sendiri sehingga kontribusi yang diberikan bias optimal.
  3. Peran dan tanggung jawab yang jelas. Setiap anggota tim harus mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing yang jelas. Sehingga mereka paham tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai tujuan bersama.
  4. Komunikasi yang efektif. Dalam proses meraih tujuan bersama, harus ada komunikasi yang baik dan efektif antar anggota tim. Semua anggota tim tahu apa yang harus menjadi prioritas utama untuk diselesaikan.
  1. Resolusi konflik. Dalam mencapai tujuan mungkin saja ada konflik yang harus dihadapi. Tetapi konflik ini tidak harus menjadi sumber kehancuran tim, sebaliknya, konflik ini yang dapat dikelola dengan baik bisa dijadikan senjata ampuh untuk melihat satu masalah dari berbagai aspek yang berbeda sehingga bisa diperoleh cara baru, inovasi baru, ataupun perubahan yang memang diperlukan untuk melaju lebih cepat ke arah tujuan.
  2. Shared power. Jika ada anggota tim yang terlalu dominan, sehingga segala sesuatu dilakukan sendiri, atau sebaliknya, jika ada anggota tim yang terlalu banyak menganggur, maka pasti ada ketidakberesan dalam tim yang lambat laun akan membuat tim menjadi tidak efektif. Jadi, tiap anggota tim perlu diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin, menunjukkan kemampuannya dibidang yang menjadi keahlian dan tanggung jawab mereka masing-masing. Sehingga mereka merasa ikut bertanggung jawab untuk kesuksesan tercapainya tujuan bersama.
  3. Keahlian. Tim yang terdiri dari anggota-anggota tim dengan berbagai keahlian yang saling menunjang akan lebih mudah bekerja sama mencapai tujuan.
  4. Apresiasi. Apabila anggota tim telah berhasil melakukan apa yang menajdi tanggung jawabnya dengan baik, pantas mendapatkan apresiasi.
  5. Sikap dan pikiran positif. Kesulitan akan terasa lebih mudah untuk diatasi, karena kesulitsn bukanlah masalah yang harus dihindari tetapi tantangan yang harus ditangani. Sikap dan pikiran yang positif merupakan modal utama sebuah tim untuk menyelesaikan masalah.
  6. Evaluasi. Evaluasi yang dilakukan secara periodik selama proses pencapaian tujuan masih berlangsung bisa membantu mendeteksi lebih dini penyimpangan yang terjadi, sehingga bisa segera diperbaiki. Evaluasi juga bisa dilakukan tidak sekadar untuk koreksi, tetapi untuk mencari cara yang lebih baik.

Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa bekerja dengan tim harus memiliki tanggung jawab yang jelas antara anggota tim agar tujuan yang dinginkan mudah tercapai. Bekerja dengan tim, sering menimbulkan konflik antar anggota tim, kelola konflik agar menjadi motivasi bagi anggota tim lebih baik dalam bekerja. Bekerja dengan tim, kekompakan sangat dibutuhakan, tanpa itu akan sulit untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

KESIMPULAN

Dalam proses kerja sama terdapat bermacam-macam perilaku individu di dalam organisasi. Perilaku organisasi yang kuat, satu dimensi perilaku akan menjadi bagian utama dalam organisasi dan menjadi rujukan dalam banyak hal. Termasuk menjadi rujukan anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaannya. Jika setiap individu memiliki kepribadian, demikian pula dengan organisasi. Organisasi dapat memilih kepribadian yang berbeda untuk membentuk perilaku atau budaya organisasi yang berbeda, sesuai dengan jenis dan karakteristik organisasi tersebut. Organisasi yang bergerak dalam bidang teknologi, akan sangat mengunggulkan nilai-nilai inovatif. Ada bebrapa sikap anggota tim dalam melakukan perubahan perilaku organisasi yaitu:

  1. Perubahan evolutif yang bersifat natural: Perubahan perilaku organisasi yang bersifat natural tanpa adanya rekayasa perencanaan sebelumnya dan lebih berorientasi internal dalam kerangka memperkokoh nilai-nilai yang sudah ada.
  2. Perubahan evolutif yang dipandu dari dalam organisasi (self guided) dengan menggunakan terapi organisasi: Perubahan perilaku organisasi karena adanya kesadaran akan pentingnya memantau terus kondisi internal organisasi, melakukan penilaian dan evaluasi sehingga mengetahui kelemahan dan kelebihan organisasi. Perubahan ini terkadang membutuhkan keterlibatan orang luar dengan tujuan memberikan jaminan secara psikologis kepada orang-orang dalam organisasi bahwa perubahan tidak perlu ditakutkan.
  3. Perubahan evolutif dengan hybrids: Perubahan perilaku organisasi dengan membiarkan perilaku/budaya lama tetap eksis namun pada saat yang bersamaan mulai diperkenalkan perilaku organisasi baru sampai pada saatnya nanti perilaku/budaya baru benar-benar bisa menggantikan perilaku organisasi yang lama.
  4. Perubahan revolutif terkendali dengan bantuan pihak luar organisas: Perubahan ini bisa dikatakan revolusioner karena perubahanya melibatkan orang luar meski perubahannya masih dalam batas kendali organisasi

 

 

 

 

 


[1] Prof. Dr. Sondang P. Piagian, Teori Pengembangan Organisasi, Jakarta: PT. Bumi Askara, 2004, hlm. 26

[2] Dr. Sugeng Listyo Prabowo, Budaya Ornaisasi, diakses pada tanggal 14 November 2010 jam 19.30 WIB, hlm. 02

[3] http://webcache.googleusercontent.comartikel-perilaku-organisasi, diakses pada tanggal 26 November 2010 jam 18.40 WIB

[4] Prof. Dr. Sondang. P. Siagian, Ibid, hlm. 27

[5] Prof. Dr. Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Askara, Edisi 3, 2010, hlm. 148

[6] Mulyono, Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan, Jogkalarta: Ar-Ruzz Media, 2009, hlm. 121

[7] Prof. Dr. Husaini Usman, ibid, hlm. 151

[8] Stephen P. Robbins, Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Gelora Askara Pratama, 2002, hlm. 06

[9] Stephen P. Robbinn, ibid, hlm. 3-5

[10] Stephem, P. Robbins, op.cit. hlm. 4

[11] http://webcache.googleusercontent.comartikel-perilaku-organisasi, diakses pada tanggal 26 November 2010 jam 19.20 WIB

[12] http://webcache.googleusercontent.com.jurnal-bekerja-dengan-tim, diakses pada tanggal 27 November 2010 jam 18.40 WIB

SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001: 2008

Posted in Uncategorized on April 28, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

(Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang, Jurusan Manajemen Pendidikan Islam)

Pada awalnya sistem jaminan mutu ISO digunakan dilembaga-lembaga industri, terutama manufaktur, dan kemudian jasa. Namun, kemudian berkembang ke lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga jasa non profit termasuk PT. Di Indonesia dan beberapa negara lain, beberapa PT dan lembaga pendidikan Sekolah Menegah Atas mengadopsi sistem jaminan mutu ini dan telah memperoleh sertifikat ISO 9001:2008. SMM ISO 9001:2008 memiliki 8 prinsip dalam pelaksanaannya. Prinsip-prinsip tersebut meliputi; 1) fokus pada pelanggan, 2) kepemimpinan, 3) keterlibatan seluruh personel, 4) pendekatan proses, 5) pendekatan sistem untuk pengelolaan, 6) pendekatan berkesinambungan, 7) pembuatan keputusan berdasarkan fakta, dan hubungan saling menguntungkan dengan pemasok.

  1. Fokus pada Pelanggan

Fokus pada pelanggan pada prinsipnya adalah PT untuk memfokuskan pada pemenuhan persyaratan pelanggan. Pelangan merupakan kunci dari kehidupan organisasi apapun, baik itu organisasi profit maupun non profit. Jika pelanggan merasa puas atau terpenuhi kebutuhan dan harapannya maka pelanggan tersebut akan kembali ke organisasi tersebut dalam memenuhi kebutuhan dan harapannya.

  1. Kepemimpinan

SMM merupakan sistem manajemen yang memandang bahwa bagian yang terpenting dalam organisasi adalah SDM, itulah sebabnya, PT harus memiliki upaya untuk menggerakkan seluruh SDM dalam organisasi untuk menuju visi. Orang atau kelompok yang menggerakkan komponen organisasi merupakan orang atau kelompok yang menjalankan kegiatan kepemimpinan.

  1. Keterlibatan seluruh SDM

Dalam upaya PT mencapai tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan maka PT harus melibatkan keseluruhan personel. Prinsip keterlibatan seluruh personel ini mendasarkan pada asumsi bahwa proses dari merubah input menjadi output merupakan kegiatan yang saling terkait dan berinteraksi antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain, sehingga jika ada banyak orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap mutu, maka upaya untuk menghasilkan produk/ layanan yang bermutu juga tidak mungkin terwujud.

  1. Pendekatan Proses

Dalam iklim yang kompetitif seperti sekarang ini, faktor efektifitas dan efisiensi merupakan faktor penting dalam memenangi berbagai persaingan. Untuk dapat menghasilkan produk/ layanan yang efektif dan efisien tersebut maka PT harus memiliki asumsi bahwa produk/ layanan yang baik selalu dihasilkan dari proses yang baik. Dengan dilakukannya proses yang baik, maka kesalahan yang terjadi dapat diketahui secara dini, dan perbaikan dapat dilakukan segera, sehingga produk/ layanan yang sudah jadi tidak lagi mengalami banyak kesalahan dan perbaikan produk/ layanan yang rusak tidak banyak dilakukan.

  1. Pendekatan Sistem untuk Pengelolaan

Hampir sama dengan pendekatan proses, pendekatan sistem merupakan upaya PT untuk mendapatkan pengelolaan yang efektif dan efisien. Sistem memiliki kata kunci interelasi dan integrasi. Interelasi bermakna bahwa proses untuk menghasilkan ouput dilakukan melalui proses pada unit-unit yang saling terhubung. Sedangkan intergasi bermakna bahwa proses pada sub sistem-sub sistem merupakan proses yang saling terkait dalam keseluruhan sistem yang utuh dalam upaya merubah input menjadi output.

  1. Pengembangan secara Berkelanjutan

Pengembangan secara berkelanjutan merupakan prinsip utama dari SMM yang membuat sistem ini lebih banyak diadopsi oleh organisasi apapun yang ada didunia ini dibandingkan dengan sistem manajemen lainnya. Prinsip ini merupakan prinsip utama organisasi untuk menghindarkan diri dari kemunduran atau kematian. Sebagaimana diketahui bahwa organisasipun termasuk PT juga memiliki usia, agar usia tersebut dapat menjadi panjang, maka organisasi harus mampu mengembangkan dirinya secara terus menerus sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Kebutuhan dan harapan masyarakat selalu berubah, itulah sebabnya PT harus mengalami perkembangan secara berkelanjutan.

  1. Pembuatan Keputusan berdasarkan Fakta

Prinsip pembuatan keputusan berdasarkan fakta pada SMM mengindikasikan bahwa proses monitoring, evaluasi, pengecekan atau audit, merupakan proses penting dalam SMM. Hasil dari berbagai proses di atas akan digunakan dalam berbagai pembuatan keputusan baik pembuatan keputusan untuk tindak perbaikan, pengembangan ataupun perubahan. Dengan adanya prinsip pembuatan keputusan mendasarkan pada fakta ini, para pengambil keputusan di organisasi, baik itu pada tingkat top, midle, maupun low management dapat dilakukan dengan terbebas dari perasaan like and dislike, sentimen kelompok, maupun rasa keadilan.

  1. Hubungan saling Menguntungkan dengan Pemasok

Sebagaimana telah diketahui bahwa SMM merupakan sistem manajemen yang mendasar pada input-proses-output (IPO). Mendasarkan pada hal tersebut, maka SMM akan sangat tergantung pada kualitas input yang ada, atau dengan kata lain, walaupun prosesnya dilakukan dengan baik, namun jika kualitas input yang ada tidak begitu baik, maka output yang akan dihasilkanpun akan memiliki kualitas yang juga tidak begitu baik. Agar proses yang dilakukan dalam organisasi dapat menghasilkan output yang sesuai dengan kualitas yang direncanakan atau sesuai dengan kualitas yang dipersyaratkan pelanggan, maka organisasi harus memastikan bahwa inputnya sesuai. Berkaitan dengan input tersebut maka organisasi akan selalu berhubungan dengan pihak lain atau organisasi lain yang akan berfungsi sebagai pemasok atau organisasi lain yang menyediakan berbagai kebutuhan yang akan menjadi input organisasi.

Keseluruhan prinsip tersebut saling berhubungan antara prinsip satu dengan yang lain, yang digambarkan oleh Suardi (2006) dalam hubungan sebagai gambar 1.

Gambar 1: Hubungan prinsip-prinsip SMM ISO 9001:2008

Kepemimpinan (prinsip 2) merupakan prinsip penting yang mendasari beberapa prinsip yang ada. Dari prinsip kepemimpinan tersebut maka visi PT akan terbentuk dan berbagai upaya untuk mencapainya dilakukan. Dari visi PT tersebut itulah kepemimpinan harus mengadopsi kebutuhan dan harapan pelanggan sehingga upaya PT untuk mencapai visi adalah merupakan upaya PT untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan (prinsip 1). Namun dalam upaya mencapai visi tersebut pemimpin harus mampu melibatkan seluruh karyawan (prinsip 3), sehingga setiap karyawan merasa memiliki kontribusi terhadap upaya pencapaian visi PT.

Agar supaya PT lebih kompetitif, maka dalam upaya mencapai visi tersebut PT harus mampu menjalankan atau mengoperasikan proses-proses yang ada di PT secara efektif dan efisien. Itulah sebabnya PT harus membangun sistem PT yang baik (prinsip 5) dan proses kerja (prinsip 4) yang mampu mendeteksi berbagai kesalahan sedini mungkin, sehingga berbagai kesalahan dalam proses kerja dapat dideteksi sedini mungkin dan dapat diselesaikan atau bahkan diantisipasi agar supaya masalah serupa tidak timbul kembali. Dengan demikian dalam upaya mencapai visi yang telah ditetapkan, pemimpin menggerakkan seluruh karyawan dengan menggunakan proses kerja yang berbasis pada sistem. Siklus dari proses kerja dengan sistem tersebut adalah menggunakan siklus P-D-C-A yang merupakan landasan kerja dari SMM. Dengan adanya siklus PDCA tersebut, setiap proses melalui tahap kegiatan perencanaan, penguji cobaan, pengukuran, dan pengembangan. Itulah sebabnya dengan mendasarkan proses kerja berbasis sistem tersebut maka pengembangan berkelanjutan (prinsip 6) dapat dilakukan.

Adanya proses pengukuran juga akan mendorong para pimpinan PT akan memiliki berbagai data dan informasi. Data dan informasi tersebut harus dimanfaatkan oleh para pimpinan tersebut dalam mengambil keputusan, sehingga keputusan yang dihasilkan di PT tersebut merupakan keputusan yang mendasarkan pada fakta (prinsip 7).

Sebagaimana termasuk dalam penerapan prinsip pendekatan sistem (prinsip 5) dan pengembangan berkelanjutan (prinsip 6) maka untuk menghasilkan lulusan PT yang unggul, maka calon mahasiswa unggul juga harus didapatkan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, PT sangat tergantung dengan SMA/ MA/ SMK yang merupakan lembaga-lembaga pemasok calon mahasiswa di PT. Itulah sebabnya hubungan saling menguntungkan antara PT dengan SMA/ MA/ SMK yang merupakan lembaga-lembaga pemasoknya merupakan hal yang penting (prinsip 8).

Sistem proses merupakan hal penting yang harus dijelaskan secara khusus dalam SMM ISO 9001:2008. Hal tersebut dikarenakan sistem proses merupakan sistem yang paling panjang dan menentukan dalam upaya menghasilkan produk/ layanan. Keseluruhan proses SMM ISO 9001:2008 tersebut digambarkan sebagaimana terlihat pada gambar 6. Persyaratan pelanggan merupakan faktor input yang harus diperhatikan oleh organisasi yang akan mengimplementasikan SMM ISO 9001:2008. Untuk mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan harapan pelanggan tersebut (yang juga merupakan persyaratan pelanggan) merupakan tanggung jawab manajemen (management responsibility). Oleh karena itulah organisasi harus memiliki sistem untuk selalu mengetahui kebutuhan dan harapan pelanggan. Mendasarkan pada kebutuhan dan harapan pelanggan tersebut itulah manajemen menentukan sumber daya

Gambar 2: Proses SMM ISO 9001:2008

yang dibutuhkan, manusia, dana, infrastruktur, peralatan dan sumber daya non manusia lainnya.

Adanya sumberdaya tersebut merupakan berbagai  prasyarat agar supaya input yang ada dapat dirubah menjadi output melalui kegiatan realisasi produk. Proses realisasi produk yang ada dalam organisasi harus selalu dilakukan pengukuran. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa realisasi produk yang dilakukan berjalan dengan baik. Selain itu pengukuran juga digunakan untuk mengetahui berbagai kesalahan yang terjadi sehingga dapat dilakukan perbaikan secepat mungkin, namun yang lebih penting adalah, dari adanya pengukuran tersebut dapat dicarikan berbagai tindak pencegahan, sehingga berbagai masalah dapat dicegah untuk terjadi. Dari proses pengukuran dan melalui kegiatan analisa tersebut juga diharapkan mampu ditemukan berbagai langkah-langkah pengembangan sehingga dapat menghasilkan produk/ layanan baru yang lebih baik, lebih hemat, lebih punya nilai tambah, dan berbagai kelebihan lainnya.

Proses pengukuran selain dilaksanakan terhadap proses realisasi produk juga dilaksanakan terhadap pelanggan. Pengukuran dilakukan untuk menjawab pertanyaan, yaitu seberapa tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk dan layanan yang dihasilkan oleh organisasi? Hasil pengukuran tersebut (baik pengukuran terhadap realisasi produk maupun kepuasan pelanggan) merupakan bahan informasi penting yang harus dilaporkan kepada tim manajemen. Mendasarkan pada berbagai hasil pengukuran dan analisisnya, manejemen mengambil berbagai keputusan, termasuk berbagai keputusan yang berkaitan dengan pengembangan. Dengan mendasarkan pada seluruh siklus tersebut itulah pengembangan secara berkelanjutan dapat dilakukan.

Dalam upaya memastikan bahwa organisasi mengimplementasikan berbagai persyaratan dalam SMM ISO 9001:2008 tersebut, kemudian lembaga ISO  mengembangkan berbagai klausul yang harus dijelaskan oleh organisasi kepada lembaga sertifikasi ISO ketika dilakukannya proses sertifikasi atau proses audit eksternal (surveillance). Berbagai klausul tersebut dapat digambarkan sebagaimana gambar 3.

Gambar 3: Klausul-klausul SMM ISO 9001:2008

Dengan tuntutan untuk menunjukkan secara sungguh-sungguh bahwa suatu organisasi telah mengimplementasikan SMM ISO 9001:2008 tersebut itulah kemudian dibutuhkan berbagai dokumen. Dokumen-dokumen tersebut itulah yang akan dijadikan dasar dalam berbagai kegiatan. Namun demikian, SMM ISO tidak menuntut semua proses pekerjaan dinyatakan dalam dokumen, sehingga proses menjadi lebih rumit, namun hanya beberapa proses saja yang harus dinyatakan dalam dokumen. Proses-proses tersebut meliputi; 1) Pengendalian dokumen (klausul 4.2.3), 2) Pengendalian Rekaman (klausul 4.2.4), 3) Audit Internal (klausul 8.2.2), 5) Pengendalian produk yang tidak sesuai (klausul 8.3), 6) Tindakan Perbaikan (klausul 8.5.2), dan 7) Tindakan Pencegahan (klausul 8.5.3

BUDAYA ORGANISASI

Posted in Uncategorized on April 28, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

(Mahasiswa Pascasarjana UIN Mailiki Malang, Jurusan Manajemen Pendidikan Islam)

Kita mengetahui bahwa setiap orang memiliki kepribadian yang unik. Kepribadian seseorang yang unik tersebut kemudian akan menjadi dasar dalam perilaku seseorang. Kepribadia yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi cara kita berperilaku, dan juga berinteraksi dengan yang lain. Ketika kita menggambarkan seseorang itu merupakan orang yang hangat, bersahabat, terbuka, menyenangkan, atau bahkan mungkin konserfatif, maka sebenarnya kita telah menggambarkan perilaku seseorang. Organisasi juga memiliki kepribadian, yang selanjutnya akan kita sebut sebagai budaya.

Jadi apa yang dimaksud dengan budaya organisasi? Budaya organisasi merupakan suatu sistem untuk saling bertukar makna-makna dan kepercayaan-kepercayaan dalam suatu organisasi, yang akan mempengaruhi orang-orang dalam organisasi tersebut berperilaku. Sehingga perilaku orang-orang yang ada dalam suatu organisasi akan dapat mewakili pandangan tentang organisasi tersebut. Setiap organisasi akan memiliki nilai-nilai, simbol-simbol, mitos-mitos, dan praktek-praktek yang akan berkembang sepanjang usia organisasi tersebut. Hal-hal tersebut dalam derajat yang berbeda akan mempengaruhi bagaimana orang-orang dalam organisasi tersebut melihat dan merespon isu-isu dan masalah-masalah dalam kehidupannya. Pengaruh tersebut seringkali akan ditunjukkan dalam bentuk bagaimana orang-orang dalam organisasi tersebut mengkonsep, mendefinisikan, menganalisa, dan memecahkan berbagai isu.

Definisi tentang budaya tersebut kemudian berdampak terhadap berbagai hal. Pertama, budaya adalah suatu persepsi. Orang-orang mempersepsikan budaya organisasi mendasarkan apa yang mereka lihat, dengan dan rasakan ketika orang-orang tersebut berada dalam organisasi. Kedua, orang-orang dari budaya yang berbeda dan dari level pekerjaan yang berbeda, akan mendefinisikan budaya organisasi sesuai dengan terminologi mereka, yang kemudian akan di “saling tukarkan “ untuk menjadi budaya dalam organisasi. Ketiga, budaya organisasi adalah suatu gambaran tentang bagaimana para anggota mempersepsikan organisasi menurut mereka, bukan hanya berkaitan dengan hasil evaluasi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Abraham Maslow, menggambarkan adanya 7 dimensi penting dalam budaya organisasi, sebagaimana digambarkan pada gambar 1.

Gambar 1: Dimensi-dimensi budaya organisasi

Hasil penelitian Maslow tersebut menunjukkan bahwa masing-masing karakteristik yang ada memiliki kriteria dari rendah sampai tinggi. Mencermati 7 dimensi pada organisasi tersebut, memberikan gambaran tentang bagaimana komponen-komponen yang ada pada budaya organisasi. Ketujuh komponen-komponen tersebut relatif stabil dan permanen dalam sepanjang waktu perkembangan organisasi. Kondisi tersebut juga menunjukkan bagaimana dimensi-dimensi tersebut dapat “diramu” untuk membuat suatu budaya organisasi yang berbeda.

Meskipun semua organisasi memiliki budaya, namun tidak semua budaya organisasi memiliki dampak yang sama terhadap perilaku orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Budaya organisasi yang kuat, merujuk pada bagaimana nilai-nilai kunci dalam organisasi tersebut terbagi secara luas kepada seluruh anggota organisasi dan secara intensif terinternasisasikan pada seluruh anggota organisasi. Pada organisasi dengan budaya organisasi yang kuat nilai-nilai tersebut akan mempengaruhi orang-orang didalam organisasi dan dalam perilaku mereka sehari-hari.

Sebuah organisasi memiliki budaya organisasi yang kuat, lemah, atau “setengah kuat” atau “setengah lemah” sangat tergantung pada beberapa aspek, yang meliputi, ukuran organisasi, seberapa lama usia organisasi, seberapa banyak “keluar masuknya” orang-orang yang ada dalam organisasi, dan seberapa intensif orang-orang dalam organisasi bersentuhan dengan budaya organisasi. Pada organisasi dengan budaya organisasi yang lemah akan ditemukan ketidak jelasan tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting pada organisasi tersebut. Disisi lain, sebagian besar organisasi relatif memiliki kesepakatan tentang beberapa hal misalnya, tentang sesuatu yang dianggap penting bagi organisasi, karakteristik karyawan yang  berperilaku baik, bagaimana mencapai kesuksesan, dan berbagai hal lainnya. Pada kenyataannya dari hasil studi terhadap budaya organisasi ditemukan bahwa orang-orang yang bekerja dalam organisasi dengan budaya organisasi yang kuat lebih memiliki komitmen dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja pada organisasi dengan budaya organisasi yang lemah. Pada organisasi dengan budaya organisasi yang kuat menggunakan proses rekrutmen dan praktek-praktek sosialisasi untuk membangun komitmen pada organisasi. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa organisasi yang memiliki budaya organisasi yang kuat ternyata juga memiliki performen organisasi yang tinggi. Itulah sebabnya manajer harus mampu menumbuhkan budaya organisasi jika menginginkan kinerja tinggi dari organisasi yang dipimpinnya.

  1. Budaya sebagai kepribadian organisasi. Dalam organisasi dengan budaya organisasi yang kuat, satu dimensi budaya akan menjadi bagian utama dalam organisasi dan menjadi rujukan dalam banyak hal. Termasuk menjadi rujukan anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaannya. Jika setiap individu memiliki kepribadian, demikian pula dengan organisasi. Organisasi dapat memilih kepribadian yang berbeda untuk membentuk budaya organisasi yang berbeda, sesuai dengan jenis dan karakteristik organisasi tersebut. Organisasi yang bergerak dalam bidang teknologi, akan sangat mengunggulkan nilai-nilai inovatif. Hal tersebut dikarenakan organisasi akan hidup jika selalu ada inovasi dalam produk-produk yang dihasilkannya. Berikut adalah beberapa kepribadian organisasi.
  2. Kepribadian berani mengambil resiko. Budaya organisasi yang mendorong para pegawainya untuk berani mengambil resiko. Budaya ini biasanya dikembangkan oleh organisasi-organisasi yang perkembangannya ditentukan oleh kemampuan mengambil resiko. Namun demikian, agar resiko tersebut tidak menjadi sesuatu yang merugikan bagi organisasi, maka organisasi akan membekali kemampuan karyawannya untuk memiliki kemampuan dalam melakukan estimasi. Lembaga-lembaga yang biasanya mengembangkan kemampuan ini adalah lembaga perbankan.
  3. Kepribadian fokus pada hal-hal yang detail. Ini adalah salah satu jenis budaya organisasi yang memfokuskan pada upaya sungguh-sungguh pada tingkat akurasi dan kedetailan. Organisasi yang memfokuskan pada tingkat kedetailan ini biasanya organisasi yang menghasilkan produk yang memerlukan tingkat ketelitian tinggi. Organisasi-organisasi elektronik merupakan organisasi yang seringkali membudayakan pada kedetailan.
  4. Kepribadian berorientasi pada hasil. Beberapa organisasi yang sukses, memiliki budaya yang berorientasi pada hasil. Pada organisasi jenis ini seringkali memberikan layanan purna jual yang sangat bagus, demi untuk menjamin produk yang telah dihasilkannya. Pada organisasi jenis ini pelayanan kepada pelanggan merupakan hal yang sangat penting. Jenis organisasi yang bergerak dalam bidang property dan telekomunikasi seringkali mengembangkan budaya ini.
  5. Kepribadian berorientasi pada manusia. Beberapa organisasi memandang SDM adalah bagian paling penting dalam keseluruhan proses yang ada di organisasi. Organisasi jenis ini akan memperlakukan karyawan dengan fleksibilitas yang tinggi, iklim organisasi yang seperti keluarga, dan hubungan diantara karyawan dan manajer yang sangat hangat. Dengan demikian karyawan akan merasa sangat senang untuk bekerja.
  6. Kepribadian berorientasi pada tim kerja. Organisasi yang sangat besar, seringkali harus beroperasi pada tim-tim kecil yang sangat efektif. Dengan tim tersebut, organisasi dapat menyelesaikan berbagai jenis pekerjaan dengan lebih cepat dan efektif. Organisasi-organisasi yang seringkali menekankan pada tim ini adalah organisasi-organisasi yang bergerak diwilayah konsultansi. Konsultan hukum misalnya, akan seringkali bergerak dengan mengandalkan tim-tim yang sangat baik.
  1. Kepribadian berorientasi pada proaktif. Organisasi jenis ini memandang ke-proaktifan adalah di atas segalanya. Organisasi jenis ini akan selalu berusaha mengeluarkan produk-produk baru dan inovasi-inovasi baru yang lebih cepat daripada para pesaingnya. Selain itu organisasi jenis ini juga memiliki semangat enterpreneurship yang sangat tinggi. Microsoft Corporation dan Coca-Cola merupakan organisasi yang sangat proaktif dalam kaitan dengan kemampuannya untuk selalu menjadi organisasi nomer 1.
  2. Kepribadian berorientasi pada kedinamisan. Terakhir, adalah organisasi yang memiliki budaya yang memfokuskan pada kedinamisan dan pertumbuhan. Organisasi jenis ini sangat mengandalkan inovasi dan perkembangan-perkembangan produk. Nokia, Intel Corporation merupakan jenis organisasi dengan penekanan pada budaya ini.

Dari mana asal sumber budaya organisasi tersebut? kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan berbagai cara umum yang ada dalam organisasi biasanya bersumber dari pengalaman sukses organisasi tersebut dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya. Sumber utama budaya organisasi pada umumnya adalah refleksi dari visi dan misi organisasi dari para pendiri organisasi tersebut. Hal tersebut dikarenakan pendiri organisasi memiliki ide yang orisinal tentang apa yang harus dilakukan oleh orang-orang yang ada dalam organisasinya. Organisasi yang kecil ketika saat didirikan, adalah faktor pendukung dalam mengembangkan budaya organisasi oleh para pemimpin/ pendiri  dan menginternalisasikannya kepada seluruh anggota organisasi. Dengan demikian sumber utama budaya organisasi adalah para pemimpin dan pendiri organisasi, yang kemudian dalam bentuk rencana strategis digambarkannya pada visi dan misi organisasi. Budaya organisasi tersebut kemudian di sebarluaskan dan diinternalisasikan kepada seluruh anggota organisasi melalui cerita-cerita, ritual-ritual, simbol-simbol, dan bahasa

PROFESIONALISME GURU

Posted in Uncategorized on April 28, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

Guru merupakan antor terpenting dalam dunia pendidikan memiliki peran strategis untuk mencerdaskan peserta didik. Dalam kegiatan belajar-mengajar, profesional guru harus dikembangkan. Rendahnya mutu pendidikan dan kualitas lulusan menunjukan rendahnya kulaitas guru dalam mengelola pembelajaran. masih banyak di daerah-daerah terpencil guru berpendidikan rendah belum mengajau pada permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

Dengan adanya permendiknas no 16 tahun 2007 tersebut, diharapkan guru pendidikan di Indonesia memiliki kemmapuan dan skill yang memadai. Dalam proses belajar mengajar, ada empat kompetensi yang harus dimiliki dan dikuasai oleh guru, antara lain kompetensi pedagogik, profesional, keperibadain dan sosial. Empat kompetensi inilah yang belum mampu dikembangkan dengan baik oleh guru dalam proses belajar mengajar.

Rendahnya pendidikan guru, maka bertampak terhadap hasil belajar siswa di kelas. Dengan adanya otonomi daerah, dari sentralisasi menuju desentralisasi, belum mampu untuk meningkatkan mutu dan profesional guru sehingga akan berpengaruh terhadap pengelaolaan lembaga terutama dalam proses belajar mengajar.

Pemerintah daerha memilik peran kunci dalam meningkat mutu dan profesional guru dalam mengajar. Sekolah dan lulusan yang berkualitas akan tercapai apabila didukung oleh guru yang profesional sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam permendiknas no 16 tahun 2007. Peningkatan mutu guru dan lulusan harus menjadi tanggung jawab bersama bagi para pengembang pendidikan.

Jika kualitas guru masih rendah maka akan sulit untuk mencapai lulusan yang berkualitas dan berdaya saing yang tinggi. Disinilah peran perguruan tinggi dituntut harus mampu menyelasikan permasalahan-permasalahan klasik pada dunia dunia pendidikan. Jika kita tercemati. di daerah-daerah masih banyak guru yng lulusan SMP dan SMA sebagai tenaga pendidik. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan merusak tatanan-tatanan pendidikan Indonesia. Dengan demikina, marilah kita majukan pendididkan Indonesia dimulai dengan meningkat profesionalisme guru dalam mengelola pembelajaran

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

Posted in Uncategorized on April 28, 2011 by mghazakusairi

M. Ghaza Kusairi

(Mahasiswa Pascasarjan UIN Maliki Malang, Jurusan Manajemen Pendidikan Islam)

Keberadaan seorang pemimpin dalam organisasi sangat dibutuhkan untuk membawa organisasi kepada tujuan yang telah ditetapkan. Berbagai gaya kepemimpinan akan mewarnai perilaku seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Bagaimanapun gaya kepemimpinan seseorang tentunya akan diarahkan untuk kepentingan bersama yaitu kepentingan anggota dan organisasi. Dalam sebuah lembaga pendidikan, salah satu elemen yang berperan penting sebagai agent of change adalah pemimpin yang memimpin lembaga pendidikan tersebut. Hal ini karena pemimpinlah yang menjadi “pengemudi” ke mana lembaga pendidikan yang pimpinnya itu akan dibawa. Peran key position kemajuan dan perkembangan tidak keliru dialamatkan kepada kepemimpinan kepala sekolah.

Kepemimpinan kepala sekolah sebagai agen perubahan dalam sekolah mempunyai peran aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah maka kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu mempunyai leadership yang baik. Kepemimpinan yang baik adalah kepala sekolah yang mampu dan dapat mengelolah sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dan sumber daya manusia hendaknya mampu menciptakan iklim organisasi yang baik agar semua komponen sekolah dapat memerankan diri secara bersama untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi.

Kepemimpinan merupakan prilaku mempengaruhi individu atau kelompok untuk melakukan sesuatu dalam rangka tercapainya tujuan organisasi. Secara lebih sederhana dibedakan antara kepemimpinan dan manajemen, yaitu pemimpin mengerjakan suatu yang benar (people who do think right), sedangkan manajer mengerjakan suatu dengan benar (people do right think). Landasan inilah yang menjadi acuan mendasar untuk melihat peran pemimpin dalam suatu organisasi. Perbedaan ini memberikan gambaran bahwa pemimpin biasanya terkait dengan tingkat kebijakan puncak atau pengambil keputusan puncak yang bersifat menyeluruh dalam organisasi, sedangkan menejer merupakan pengambil keputusan tingkat menengah.[1] Sehingga kepemimpinan kepala sekolah juga dituntut untuk mampu menciptakan iklim organisasi yang baik agar semua komponen sekolah dapat memerankan diri secara bersama untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi sekolah, yaitu membentuk generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Dalam abad modern ini, berbagai penjelasan dalam organisasi memerlukan pemimpin yang berorientasikan pada perubahan. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang mampu membawa organisasi sesuai dengan asas-asas manajemen modern[2], sekaligus mampu mengembangkan lingkungan organisasi yang berawawas iman dan taqwa dalam kegiatan sehari-hari. Suatu kenyataan bahwa kemerosotan akhlak akhir-akhir ini tidak hanya menimpa kalangan orang dewasa tetapi telah merembet pada kalangan pelajar tunas-tunas muda. Orang tua, pendidik, dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak mengeluh terhadap perilaku mereka yang tidak baik. Perilaku mereka yang nakal, keras kapala, mabuk-mabukan, tawuran, pergaulan bebas, pesta obat-obatan terlarang, bergaya hidup mewah dan pendek kata perilaku mereka tidak mencerminkan pelajar yang berpendidikan. Disinilah peran kepemimpinan kepala sekolah dituntut untuk mampu membimbing bawahannya yaitu peserta didik. Peran kepemimpinan kepala sekolah sangat berperanan penting dalam mengembangan lingkungan berwawasan iman dan taqwa pada organisasi yang dipimpinnya.

Dalam memimpin suatu organisasi sekolah, kepala sekolah dapat menekankan salah satu bentuk atau model kepemimpinan yang ada. Model atau gaya kepemimpinan mana yang paling sesuai masih menjadi pertanyaan. Keberadaan sekolah sebagai organisasi pendidikan akan berpengaruh terhadap keefektifan model kepemimpinan kepala sekolah yang diterapkan. Karena sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedangkan bersifat unik menunjukkan bahwa sekolah  sebagai organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lain. Oleh karena itu, sekolah yang sifatnya kompleks dan unik itulah, maka sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi, sehingga keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peran kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.[3]

Pada umumnya seorang yang diangkat menjadi pemimpin didasarkan atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan orang-orang yang dipimpinnya, dimana kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya adalah sifat-sifat yang dimiliki berkaitan dengan kepemimpinannya. Kelebihan sifat ini merupakan syarat utama menjadi seorang pemimpin yang sukses. Berkaitan dengan masalah sifat-sifat pemimpin sebagai syarat utama kepemimpinan, sebagaimana dinyatakan oleh Slikbour bahwa sifat-sifat kepemimpinan itu meliputi: (a) sifat-sifat serta kemampuan dalam bidang intelektual, (b) sifat-sifat yang berkaitan dengan watak, dan (c) sifat-sifat yang berhubungan dengan tugasnya sebagai pemimpin. Sedangkan Roeslan Abd. Ghoni menyatakan bahwa, kelebihan seorang pemimpin meliputi  3 (tiga) hal, yaitu: (a) kelebihan menggunakan pikiran, (b) kelebihan dalam rohaniah dan (c) kelebihan dalam badaniah.[4]

Kepemimpinan adalah aktor dari sebuah rencana yang kemudian diaplikasikan dalam suatu organisasi, dimana pemimpin dan kepemimpinan yang baik itu dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Sebagai pengatur, pengarah aktivitas organisasi untuk mencapai suatu tujuan.
  2. Penanggung jawab dan pembuat kebijakan-kebijakan organisasi.
  3. Pemersatu dan motivasi para bawahan dalam melaksanakan aktivitas organisasi.
  4. Pelopor dalam menjalankan aktivitas manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta pengelolaan sumber daya manusia yang ada.
  5. Sebagai pelopor dalam memajukan organisasi dan lain-lain.[5]

Sebagaimana telah dikatakan oleh Nawawi, bahwa setiap dan semua organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang pemimpin yang harus menjalankan kepemimpinan (leadership) dan manajemen (management) bagi keseluruhan organisasi sebagai satu kesatuan.[6]

Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. Semakin banyak jumlah sumber kekuasaan yang tersedia bagi pemimpin, maka makin besar potensi kepemimpinan yang efektif.[7] Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke bumi, ia ditugasi sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Sebagaimana firman Allah yang artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)[8]

Namun demikian, walaupun dari definisi kepemimpinan tersebut bertitik tolak dari pemberian pengaruh kepada orang lain untuk melaksanakan apa yang dikehendaki pemimpin untuk menuju suatu tujuan secara efektif dan efisien, namun tenyata proses mempengaruhinya dilakukan secara berbeda-beda. Proses pelaksanaan kegiatan mempengaruhi yang berbeda inilah yang kemudian menghasilkan tingkatan-tingkatan dalam kepemimpinan.[9]

Dalam ajaran Islam sendiri banyak ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW baik secara lagsung maupun tidak langsung yang menjelaskan pengertian dari kepemimpinan. Kepemimpinan juga dapat dikatakan penting apabila mampu memanfaatkan dan mengelola potensi setiap sumber daya yang ada. Seorang pemimpin dituntut harus mampu membimbing anngotanya kearah yang baik. Diantaranya sebagaimana  telah dijelaskan dalam firman Allah SWT yang artinya: Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyeruhkan), ‘sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan di antara mereka ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul) (QS. an-Nahl: 36)[10]

Dalam surat An-Nahl ayat 36 tersebut, dijelaskan bahwa pada dasarnya para Rasul diutus kepada manusia sebenarnya hanyalah untuk memimpin umat dan mengelurkannya dari kegelapan menuju kepada aqidah yang lurus yaitu menyembah hanya kepada Allah SWT. Dalam menjalankan organisasi sekolah seorang kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu mengemudikan dan menjalankan organisasinya. Dalam artian bahwa seorang pemimpin harus mempu membawa perubahan, karena perubahan merupakan tujuan pokok dari kepemimpinan. Dalam hal ini, pada hakikatnya seorang pemimpin adalah harus bertanggung jawab terhadap apa yang sedang dipimpinnya, dan kepemimpinannya akan diminta pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT.

Kepemimpinan kepala sekolah dalam pengembangan imtaq di sekolah sangat penting sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Sesuai dengan UU NO. 20 Tahum 2003 pasal 3 yang berbunyi, “ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar manjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. ”Dalam pembukaan UUD 1945 dalam menyebutkan bahwa konsep mencerdaskan kehidupan bangsa harus dimaknai secara luas, yakni meliputi (a) kecerdasan intelektual, (b) kecerdasan emosional, dan (c) kecerdasan spiritual.[11] Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidik hendaknya tidak hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan dan keterampilan semata, tetapi harus diimbangi dengan membina kecerdasan emosional dan keagamaan. Dengan kata lain memberikan nilai-nilai agama atau imtaq dalam ilmu pengetahuan atau memberikan moralitas agama kepada ilmu.

Selaras dengan hal tersebut, dikatakan oleh Ahmad Djazuli bahwa dalam tujuan pendidkan nasional, pembinaan imtaq merupakan inti tujuan pendidikan nasional. Hal ini berarti bahwa pembinaan imtaq bukan hanya tugas dari bidang studi pendidikan agama saja melainkan tugas pendidikan secara keseluruhan sebagai suatu sistem. Artinya, sistem pendidikan nasional dan seluruh upaya pendidikan sebagai satu sistem yang terpadu harus secara sistematis diarahkan untuk menghasilkan manusia yang utuh, sebagai ciri pokoknya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[12] Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik, salah satunya adalah potensi agama atau fitrah agama yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal inilah yang menjadi tanggung jawab kepala sekolah sebagai pemimpin dalam membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk selalu berada dalam kebaikan. Tanggung jawab kepala sekolah sebagai pemimpin, sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya yang berbunyi: Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia dan batu-batu; Di atasnya malaikat-malaikat yang kasar-kasar, keras-keras, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. Al-Thariim: 6)[13]

Dengan demikian, segala perubahan dan pengembangan lingkungan berwawasan imtaq pada suatu lembaga pendidikan bukanlah suatu yang kebetulan namun memiliki sebab akibat tersendiri. Berdasarkan pemikiran bahwa sekolah pada dasarnya adalah sebuah organisasi, maka pengembangan lingkungan berwawasan imtaq tidak lepas dari unsur baik internal maupun eksternal. Ada tiga hal yang mendorong terjadinya perubahan dalam sebuah organisasi yaitu faktor internal, faktor eksternal dan change agent (pemimpin), namun bagaimanapun besarnya potensi ataupun rangsangan baik internal maupun eksternal tidak akan berimplikasi positif tanpa diimbangi oleh kepemimpinan ideal. Ini berarti, seorang pemimpin berperan penting dalam mengembangkan lingkungan yang berwawasan imtaq. Sehingga pemimpin juga dituntut untuk mampu menciptakan iklim organisasi yang baik agar semua komponen sekolah dapat memerankan diri secara bersama untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi sekolah, yaitu membentuk generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok dalam mencapai tujuan bersama (shared goal). Sedangkan kepemimpinan yang dimaksud dalam lembaga pendidikan adalah kepemimpinan pendidikan (educational leadership). Kepemimpinan pendidikan adalah proses mempengaruhi personel yang mendukung proses belajar mengajar dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikan.[14]

Keimanan dan ketaqwaan siswa merupakan core tujuan pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, lembaga pendidikan sekolah yang efektif dinilai merupakan salah satu wahana yang sangat efektif untuk mencapai tujuan pendidikan, dengan alasan karena melalui proses pendidikan di sekolah peserta didik akan memperoleh bukan saja aspek pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga sikap. Dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan siswa melalui lembaga pendidikan sekolah, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengembangkan lima strategi, yakni (1) optimalisasi pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, (2) integrasi Iptek dan Imtaq dalam proses pembelajaran, (3) pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler berwawasan Imtaq, (4) penciptaan situasi yang kondusif dalam kehidupan sosial di sekolah, dan (5) melaksanakan kerjasama antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat.[15]

Dengan demikian, kepemimpinan kepala sekolah memiliki peran yang besar untuk mengatasi krisi moral dan akhlak yang melanda bangsa Indonesia saat ini terutama krisis moral dan akhlak yang melanda peserta didik. Dalam hal ini, kepimpinan kepala sekolah untuk mengembangkan lingkungan berwawasan iman dan taqwa kepada Allah SWT sangat dibutuhkan. Latar belakang pendidikan kepala sekolah dalam kepemimpinnya sangat mempengaruhi terhadap pengembangan lingkungan berwawasan iman dan taqwa tersebut.


[1] Rasmianto, Kepemimpinan Kepala Sekolah Berwawasan Visioner-Transformatif Dalam Otonomi Pendidikan, Malang: Jurnal el-Harakah, Wacana Kependidikan, Keagamaan dan Kebudayaan., Fakultas Tarbiyah UIN-Malang Edisi 59, 2003, hlm. 15

[2] Veithzal Rivai, Arviyan Arifin, Islamic Leadership: Membangun SuperLeadership Melalui Keceerdasan Spritual (Jakarta: Bumi Askara, 2009), hlm. 7

[3] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepela Sekolah (Tinjauan Teoritik dan Permasalahan) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 81

[4] Ach. Mohyi, Teori & Prilaku Organisasi (Malang: UMM-Press Malang, 1999), hlm. 180-181

[5] EK. Imam Munawir, Asas-Asas Kepemimpinan Dalam Islam (Surabaya, tt., Usaha Nasional), hlm 176

[6]  Hadari Nawawi, Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), hlm. 18

[7] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidika, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 88

[8] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir: Juz 1 Al-Fatihah s.d. Al-Baqarah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), hlm. 358

[9] Muhaimin, Suti’ah, Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya Dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 30

[10] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi:Juz 14 (Semarang: CV. Toha Putra, 1992), hlm. 140-141

[11]  Himpunan Undang-Undang Republik Indonesia: Guru dan Dosen, SISDIKNAS, Standar Nasional Pendidikan (Surabaya: Wacana Intelektual, 2009), hlm. 372

[12] Achmad Djazuli, dkk, Peningkatan Wawasan Keagaamaan (Islam) Guru Bukan Pendidikan Agama SLTP dan SLTA (Jakarta:DIKNAS, 2005), hlm. 2

[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an) (Jakarta: Lentera Hati, volume 14, 2002), hlm. 326

[14] Wahjosimudjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik dan Pemasalahannya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 27.

[15] http://pemberdayaan-sekolah-berwawasan-imtaq.html, diakses pada tanggal 7 Maret 2011